Anggaran Disulap, Jabatan Diciptakan, Sopir Fiktif Digaji: DPRD Diduga Sengaja Bodohi Rakyat Bojonegoro


Bojonegoro, Polemikdaerah.online – Saat warga Bojonegoro bergulat dengan jalan rusak, harga kebutuhan pokok yang melambung, dan pelayanan publik yang stagnan, DPRD Bojonegoro justru diduga tenggelam dalam praktik manipulasi anggaran yang memalukan. Skema pengadaan dan belanja mereka tak hanya mencerminkan pemborosan, tapi juga mengindikasikan penipuan sistemik terhadap keuangan daerah.

Berdasarkan dokumen pengadaan di laman SIRUP LKPP, terungkap sejumlah belanja janggal yang dibebankan pada APBD 2025, antara lain :

  • Mobil dinas “Pejabat Eselon II” senilai Rp 2 miliar, padahal anggota DPRD tidak memiliki jabatan eselon dan hanya setara dengan Eselon III.
  • Pembayaran gaji 72 sopir pribadi dengan total Rp 198 juta per tahun, meski jumlah anggota DPRD hanya 50 orang.
  • Pemeliharaan kendaraan operasional dan perorangan: lebih dari Rp 600 juta.
  • Sewa kendaraan dokumentasi: Rp 6 juta.

Menurut pegiat keterbukaan informasi kawakan, Galih, penggunaan istilah Eselon II dalam pengadaan merupakan bentuk rekayasa jabatan untuk membesarkan plafon anggaran. Istilah itu tak memiliki dasar hukum karena anggota DPRD adalah pejabat politik, bukan pejabat struktural.

“Ini bukan kesalahan administratif. Ini penyesatan yang disengaja, mereka menciptakan jabatan palsu hanya untuk mengamankan anggaran besar,” ujar Galih

Dugaan paling mencolok adalah belanja gaji 72 sopir pribadi, sementara dalam praktiknya, hanya empat unsur pimpinan DPRD yang memiliki sopir dinas, semua hanya ada dalam dokumen, tidak pernah terlihat di kantor atau lapangan, modus lama yang masih ampuh diterapkan lantaran minimnya dan lemahnya pengawasan.

Anggaran kendaraan dipecah ke berbagai sub pos dari operasional, perorangan, sewa dokumentasi, hingga pemeliharaan, demi menyamarkan total pemborosan.

“Ini trik kuno tapi ampuh. Uangnya disebar ke banyak pos kecil agar tidak tampak mencolok di laporan BPK. Tapi totalnya miliaran hanya untuk memanjakan anggota dewan,” tegas Galih

Publik menilai praktik ini bukan hanya pelanggaran etika, tetapi sudah masuk kategori penyalahgunaan anggaran dan persekongkolan jabatan, dengan potensi pelanggaran pemalsuan nomenklatur jabatan, penggajian pegawai fiktif, pengadaan tak sesuai fungsi, Pecah anggaran untuk menghindari deteksi penyalahgunaan wewenang secara kolektif

“Ini bukan pemborosan, ini adalah perampokan uang rakyat yang dilakukan dengan cara legal. DPRD Bojonegoro sedang menipu rakyatnya di ruang terbuka,” kecam Galih. 

Masyarakat menyerukan kepada Inspektorat, BPK, dan Kejaksaan agar segera melakukan audit forensik menyeluruh. Publik juga berharap KPK turun tangan untuk membongkar skema ini, mengingat Bojonegoro masuk dalam radar penindakan nasional.

“Kami tidak butuh klarifikasi manis. Kami ingin tahu siapa aktor utama, siapa penerima manfaat, dan siapa penikmat sunyi dari uang rakyat ini. Negara tidak boleh kalah oleh trik-trik busuk seperti ini.” Pungkasnya.

Red

Sebelumnya

item