Program Gayatri Bojonegoro: Kemandirian Ekonomi atau Menetaskan Telur Kemiskinan Baru?
Opini Edukasi
Ilustrasi Peternak Ayam Petelur
Bojonegoro, Polemikdaerah.onoine, - Dengan label Gerakan Beternak Ayam Petelur Mandiri (Gayatri), Pemerintah Kabupaten Bojonegoro menjanjikan mimpi pengentasan kemiskinan lewat paket bantuan ayam petelur, kandang tipe baterai, dan pakan awal. Program ini diklaim mendapat suntikan anggaran lintas pintu: dari APBD Kabupaten, APB Desa, hingga dana CSR perusahaan.
Namun di balik narasi muluk kemandirian ekonomi, suara sumbang di lapangan justru kian nyaring. Program Gayatri dituding sarat permainan data penerima, syarat yang memberatkan, hingga risiko menciptakan kemiskinan berlapis.
Secara konsep, Gayatri tampak sederhana: warga pra-sejahtera mendapat paket ayam, kandang, dan pakan awal. Setelahnya, mereka wajib mandiri membeli pakan, merawat ayam, dan menjual telur ke pasar.
Masalahnya, mayoritas penerima mengaku tidak paham risiko biaya operasional lanjutan. Harga pakan kerap naik tak terkendali, sedangkan harga jual telur fluktuatif. Tanpa pendampingan intensif, risiko gagal panen dan kandang mangkrak pun jadi mimpi buruk yang nyata.
"Awal dikasih pakan, habis itu beli sendiri. Kalau nggak sanggup ya ayamnya mati, kandang kosong,” keluh seorang warga di sudut desa yang terpinggirkan.
Persyaratan penerima bantuan yang wajib memiliki lahan justru disorot sebagai pintu diskriminasi halus. Bagi keluarga pra-sejahtera di desa padat penduduk, lahan kosong untuk kandang adalah kemewahan yang mustahil. Warga miskin sejati pun terpental, sementara mereka yang punya lahan dan punya jalur dekat kerap muncul di daftar penerima.
"Yang miskin beneran nggak kebagian karena syaratnya lahan. Lahan dari mana? Pekarangan aja sempit,” lanjutnya.
Tak sedikit penerima adalah warga lanjut usia yang nyaris tak sanggup lagi bekerja fisik. Padahal merawat ayam petelur bukan sekadar memberi makan, tetapi juga menjaga kebersihan kandang, mengendalikan penyakit, hingga strategi menjual telur. Alhasil, tak jarang ayam mati perlahan, kandang kosong, atau malah ayam dijual murah sebelum modal makin tekor.
Praktisi kebijakan di Bojonegoro pun menyoroti distribusi program yang rawan dimanfaatkan segelintir pemain proposal. Skema siapa dekat dia dapat sudah menjadi rahasia umum. Validasi lapangan pun kerap hanya formalitas, menciptakan celah kebocoran anggaran di balik baju bantuan sosial produktif.
"Kalau benar-benar diawasi, penerimanya warga miskin betulan, tapi kalau main proposal main lobi, ya yang punya jalur yang dapat, akhirnya yang miskin tetap miskin,” tegas seorang aktivis pemberdayaan di Bojonegoro.
Di atas dokumen, Gayatri menjanjikan pelatihan beternak dan jaminan pemasaran telur. Fakta di lapangan berkata lain, mayoritas penerima justru kebingungan merawat ayam. Jangankan akses pasar, cara membersihkan kandang pun banyak yang belum paham. Warga miskin dipaksa mandiri hanya di atas kertas, padahal di lapangan mereka bertarung sendirian melawan tengkulak pakan, harga yang fluktuatif, dan risiko penyakit.
Publik Menagih Transparansi, menuntut jawaban, bagaimana verifikasi penerima dilakukan? siapa mengawasi pendistribusian di lapangan? bagaimana audit anggaran lintas APBD, APB Desa, hingga CSR? siapa yang bertanggung jawab jika program justru berujung utang pakan, ayam mati, kandang mangkrak, dan warga semakin miskin?
"Tanpa evaluasi total, Program Gayatri hanya akan jadi panggung pencitraan, ayam memang bertelur, tapi yang lahir hanyalah telur-telur kemiskinan baru dan bancakan anggaran di balik label bantuan produktif,” pungkas seorang pemerhati kebijakan publik.
Red...