RS Onkologi Baru: Proyek Gagah-Gagahan di Tengah Upgrade RSUD Dari Kelas B Menuju A Yang Tak Kunjung Tuntas?
![]() |
Sumber Foto : Internet |
Bojonegoro, Polemikdaerah.online – Janji manis Pemerintah Kabupaten Bojonegoro untuk meningkatkan status RSUD Dr. R. Sosodoro Djatikoesoemo dari tipe B menjadi tipe A dan pembangunan RS Onkologi Talok, kali ini dinilai publik hanya sebatas retorika politik.
Alih-alih memperkuat rumah sakit rujukan utama yang telah ada, Pemkab justru memilih jalur aneh, membangun rumah sakit onkologi baru dari nol, tanpa kejelasan arah dan sinergi.
Peningkatan status RSUD ke tipe A, sesuai standar Kementerian Kesehatan, mensyaratkan layanan unggulan, salah satunya onkologi. Ironisnya, pembangunan RS baru ini dilakukan tanpa mengintegrasikan pengembangan RSUD Sosodoro. Bahkan dalam sebulan terakhir kian ramai menjadi kontroversi yang kian memanas, hal ini memicu tudingan keras dari berbagai kalangan adanya pemborosan anggaran dan perencanaan tanpa nalar kebijakan.
"Pemerintah bilang mau naikkan kelas RSUD, tapi justru bangun RS baru? Ini bukan perencanaan, tapi proyek belaka,” kata seorang pegiat antikorupsi di Bojonegoro.
Dalam pemberitaan sebelumnya, kunjungan Dirut RSCM, dr. Supriyanto Dharmoredjo, pada April lalu, Wakil Bupati Nurul Azizah sempat menyatakan bahwa transformasi RSUD menjadi tipe A sudah menjadi bagian dari agenda strategis daerah. Namun, realisasi di lapangan tak mencerminkan keseriusan. Progres pengembangan RSUD disebut baru di kisaran 15–20 persen.
Diawal perjalanan pemerintah dalam upgrade RSUD dari kelas b menuju kelas a, lngkah membangun RS baru ini dinilai tak lebih dari proyek ad-hoc yang minim kajian kebutuhan riil, lemah perencanaan, dan tak menjamin keberlanjutan pelayanan.
"Mereka hanya pikir bangunan. SDM, sistem, rujukan tidak dihitung. Nanti dua rumah sakit ini akan saling berebut sumber daya dan pasien,” ujar seorang aktivis kebijakan publik.
Kekhawatiran terbesar dari proyek ini adalah tumpang tindih layanan dan konflik institusional. Bukannya menguatkan RSUD sebagai pusat rujukan terpadu, justru kini muncul dua entitas yang berisiko duplikasi fungsi, perebutan anggaran, hingga rujukan yang tidak efisien.
Lebih parah lagi, sampai saat ini tidak ada dokumen resmi yang memuat sinkronisasi sistem antara RSUD dan RS onkologi baru. Proyek ini berjalan dalam kabut—tanpa transparansi perencanaan dan arah pelayanan kesehatan yang jelas.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil mendesak agar proyek ini segera diaudit. Mereka menilai kebijakan ini penuh kepentingan, berpotensi jadi ladang bancakan dan menjauh dari prinsip tata kelola anggaran yang sehat.
"Kalau RSUD bisa dikembangkan, mengapa bangun dari nol? Apa nilai proyeknya? Siapa kontraktornya? Sudah ada kajian kebutuhan? Semua harus dibuka ke publik,” tegasnya.
Di saat RSUD masih berkutat dengan kekurangan layanan dasar dan keterbatasan SDM, kebijakan ini justru menunjukkan satu hal gagal paham dalam merencanakan sistem kesehatan daerah yang berkelanjutan.
"Pemkab Bojonegoro dihadapkan pada ujian kepercayaan publik. Tanpa roadmap dan justifikasi yang transparan, RS onkologi baru hanya akan menjadi monumen mahal tanpa manfaat konkret. Megah di atas kertas, tapi tidak menjawab masalah sesungguhnya di lapangan" Pungkasnya.
Red...