Dugaan Komersialisasi Aset Negara dalam Praktik Penyewaan Kantin Sekolah di Bojonegoro

Opini Edukasi.


Bojonegoro, Polemikdaerah.online, Bojonegoro kembali diterpa isu serius menyangkut integritas pengelolaan aset negara. Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuka fakta adanya aliran dana dari pihak ketiga yang berasal dari praktik penyewaan kantin sekolah. Nilai sewa yang dipatok bahkan mencapai minimal Rp25 juta, angka yang mengejutkan jika dibandingkan dengan kondisi sekolah dan ekonomi lokal.

Kantin sekolah berlokasi di dalam kawasan pendidikan yang jelas berstatus aset negara. Regulasi pengelolaan aset pemerintah secara tegas menyebutkan bahwa setiap pemanfaatan harus berbasis perjanjian resmi antara penyewa dan pemerintah daerah, dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Bojonegoro. Namun fakta di lapangan menunjukkan adanya praktik sebaliknya, kesepakatan hanya terjadi antara penyewa dan pihak sekolah, tanpa campur tangan Pemkab. Praktik ini bukan sekadar maladministrasi, melainkan berpotensi masuk kategori penyalahgunaan aset negara.

Ironisnya, Dinas Pendidikan sebenarnya telah merekomendasikan agar kantin sekolah menjadi sarana edukatif. Model pengelolaan yang ditawarkan antara lain melalui kolaborasi guru, siswa, dan wali murid, bahkan bisa menjadi ruang pembinaan UMKM lokal. Semangat ini sejalan dengan program "kantin sehat" yang memberi manfaat langsung pada dunia pendidikan. Namun implementasi di lapangan justru bertolak belakang. Kantin dialihkan ke pihak swasta dengan biaya sewa tinggi, mengunci partisipasi warga sekolah, dan menghilangkan peluang pemberdayaan komunitas.

Pertanyaan publik paling krusial adalah ke mana larinya dana sewa kantin tersebut? Apakah masuk kas daerah secara resmi atau hanya berhenti di tangan segelintir pihak? Keterlibatan Inspektorat dalam menagih sisa uang sewa bahkan menambah aroma janggal. Alih-alih menjalankan fungsi pengawasan, lembaga tersebut justru terkesan berubah peran menjadi "penagih piutang" untuk transaksi yang dasarnya saja sudah problematik.

Meski kontribusi retribusi kantin sekolah tidak signifikan dibandingkan dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Bojonegoro yang besar, justru aspek inilah yang menjadi sorotan. Mengapa pemerintah daerah begitu ngotot mengejar nominal yang relatif kecil? Apakah benar ini bentuk optimalisasi PAD, atau hanya modus terselubung oknum yang memanfaatkan celah aset pendidikan untuk kepentingan pribadi?

Kasus ini menunjukkan lemahnya tata kelola aset pendidikan di Bojonegoro. Pemerintah daerah perlu segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap praktik penyewaan fasilitas sekolah, mengembalikan pengelolaan kantin ke prinsip edukatif dan pemberdayaan komunitas, serta menindak tegas oknum yang terbukti melakukan komersialisasi ilegal atas aset negara.

Lebih dari sekadar soal kantin, polemik ini adalah alarm bagi publik, jika fasilitas sekecil kantin sekolah saja bisa dikomersialkan tanpa dasar hukum jelas, bagaimana dengan aset negara lain yang lebih besar dan strategis?

Red... 

Sebelumnya

item