Cinta Rasul dalam Nampan Kue: Maulid Nabi di Rendeng Penuh Syukur dan Kebersamaan


Bojonegoro – Malam Jumat (5/9/2025), masjid Desa Rendeng, Kecamatan Malo, Kabupaten Bojonegoro, dipenuhi cahaya lampu dan lantunan shalawat. Warga berduyun-duyun datang, membawa nampan berisi kue tradisional, buah-buahan, hingga perabot rumah tangga seperti rak dapur, kipas angin, dan gentong. Semua disusun rapi di dalam masjid, menjadi suguhan khas dalam peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.

Pemandangan itu bukan sekadar seremonial, melainkan wujud kecintaan mendalam warga kepada Rasulullah. Dalam budaya Rendeng, memberi bukan berarti kehilangan, tetapi meneguhkan kebersamaan. Kue dan perabot yang dipersembahkan adalah simbol syukur, doa, sekaligus solidaritas antarwarga.

Seorang sesepuh desa menuturkan bahwa tradisi ini telah berlangsung sejak puluhan tahun lalu. “Dulu orang-orang membawa makanan sederhana, lalu berkembang jadi beragam suguhan. Bahkan ada yang membawa perabot rumah tangga. Semua dengan niat ikhlas, sebagai tanda syukur dan cinta kepada Nabi,” jelasnya.

Tradisi ini diwariskan dari generasi ke generasi, tak pernah pudar meski zaman berubah. Anak-anak muda pun ikut larut dalam kegembiraan, mengantarkan suguhan dengan penuh semangat. Hal ini menunjukkan bahwa Maulid Nabi di Rendeng bukan hanya ritual, tapi juga identitas sosial-budaya yang terus hidup di hati warga.

Acara Maulid Nabi diawali dengan pembacaan shalawat, doa bersama, lalu tausiyah dari para kyai. Pesan yang disampaikan sederhana tapi dalam: meneladani akhlak Nabi dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam keluarga, masyarakat, maupun dalam menjaga kebersamaan.

Suguhan kue dan perabot yang terkumpul kemudian dibagikan kembali kepada jamaah dan warga desa. Inilah inti dari tradisi Rendeng: berbagi kebahagiaan, menguatkan silaturahmi, dan memastikan bahwa tidak ada satu pun warga yang merasa sendirian.

“Dengan cara ini, kami ingin menunjukkan bahwa cinta Rasul bisa diwujudkan lewat kebersamaan dan saling berbagi,” ujar salah satu warga dengan mata berbinar.

Peringatan Maulid Nabi di Desa Rendeng adalah potret indah bagaimana agama dan budaya berpadu. Tradisi ini memperlihatkan bahwa kecintaan kepada Rasulullah tidak hanya diwujudkan lewat doa, tetapi juga dalam tindakan nyata—membangun solidaritas sosial, mempererat tali persaudaraan, dan meneguhkan rasa syukur.

Di tengah derasnya arus modernisasi, warga Rendeng mampu menjaga warisan leluhur yang sarat makna. Maulid Nabi bukan hanya pesta keagamaan, melainkan juga ruang kebersamaan yang mengikat warga desa dalam satu ikatan batin.

Malam itu, masjid Desa Rendeng bukan sekadar tempat ibadah. Ia menjelma menjadi rumah kebersamaan, tempat kue dan perabotan sederhana berubah menjadi simbol cinta Rasul yang tulus. Dari nampan kue hingga rak dapur, semua tersusun bukan karena nilai barangnya, melainkan karena niat ikhlas warga untuk berbagi dalam merayakan kelahiran junjungan umat Islam.

Tradisi ini adalah pesan sunyi tapi kuat: cinta Rasul tak harus megah, tapi harus nyata. Dan di Desa Rendeng, cinta itu hidup dalam kue, doa, dan kebersamaan yang tidak lekang oleh waktu.

Red... 

Sebelumnya

item