Di Tepian Sungai, Jeritan Kasmi yang Tak Pernah Didengar Negara
TUBAN, Polemikdaerah.online – Embun pagi masih bergelayut di dedaunan kala Kasmi melangkah pelan menuju sungai. Ember plastik tua di tangannya seolah menegaskan rutinitas yang tak pernah berubah. Di sungai keruh itu ia mandi, mencuci pakaian, sekaligus melepaskan lelah yang menumpuk. Air dingin menjadi cermin hidupnya: sederhana, miskin, dan diabaikan.
Rumah yang ia tinggali nampak bangunan tua, kayu penyangga lapuk dimakan rayap, lantai lembap berlumut, dapur penuh asap kayu bakar. Kompor gas, kulkas, bahkan kamar mandi sederhana hanyalah mimpi. Hidup Kasmi seakan terhenti di masa lalu, jauh dari arus pembangunan yang kerap dibanggakan pejabat di layar televisi.
“Sejak Pilpres kemarin, saya tidak pernah dapat bantuan apa-apa. Sembako tidak, uang tunai juga tidak. Padahal saya orang kecil,” ucapnya lirih. Kata-kata itu mengalir datar, namun menyimpan luka mendalam. Wajah keriputnya menampakkan lelah panjang, seolah harapan telah lama tergerus waktu.
Di desa lain, air bersih bukan lagi masalah. Namun bagi Kasmi dan tetangganya, air bersih adalah kemewahan. Tak ada sumur, tak ada jaringan PDAM, tak ada fasilitas desa. Sungai menjadi satu-satunya tempat untuk mandi, mencuci, bahkan buang hajat.
Jeding atau jamban pribadi tak pernah mereka miliki. Bertahun-tahun hidup dalam keterbatasan, mereka pasrah, meski jauh di lubuk hati tersimpan rasa malu karena harus berbagi sungai dengan banyak orang.
Ironi itu begitu mencolok, ketika pemerintah pusat berkoar soal keberhasilan program pengentasan kemiskinan, justru Kasmi dan Mbah Sarmi dibiarkan hidup dalam kubangan keterbatasan.
Data Kementerian Sosial kerap digadang sebagai “akurat by name by address”. Nyatanya, Kasmi tak pernah tercatat. Ia tak pernah menerima sembako, Bantuan Langsung Tunai (BLT), apalagi program perlindungan sosial lain.
Sugeng, Ketua LSM GMBI, menilai kondisi ini sebagai bukti nyata kegagalan birokrasi. “Kalau orang seperti Kasmi tidak masuk data penerima bantuan, maka sistem itu cacat. Pemdes Guwoterus dan Dinsos Tuban harus segera turun tangan, jangan menunggu rakyat makin putus asa,” tegasnya.
Kegagalan pemerintah daerah dalam memvalidasi data penerima manfaat bukan sekadar kelalaian teknis, melainkan pelanggaran moral dan konstitusional. Amanat Undang-Undang Dasar jelas: negara wajib melindungi dan menyejahterakan seluruh rakyat. Namun di Guwoterus, janji itu hanya tinggal tulisan di kertas.
Kasmi hanyalah satu nama, tapi kisahnya mewakili ribuan warga miskin lain di pelosok desa. Mereka tidak memiliki suara lantang, tidak punya akses politik, bahkan sering tidak tahu ke mana harus mengadu.
Kemiskinan mereka bukan sekadar soal perut lapar, tapi kehilangan hak dasar: air bersih, sanitasi layak, rumah yang aman, dan kepastian akan hari esok. Mereka hidup di tepian sungai, di pinggir jalan, di rumah reyot, sementara jargon “pengentasan kemiskinan” terus dielu-elukan di panggung politik.
Selama sistem bantuan sosial hanya sibuk dengan data di atas kertas tanpa menjemput fakta di lapangan, maka kisah seperti Kasmi akan terus berulang. Pertanyaan mendasar pun muncul: untuk siapa sebenarnya program perlindungan sosial itu dibuat?
Kasmi mungkin tak pernah didengar di ruang rapat pejabat. Suaranya lirih, sering tenggelam oleh riuh politik dan seremoni. Namun di tepian sungai yang keruh, ia terus hidup—dengan wajah letih yang menyimpan jeritan panjang: jeritan rakyat kecil yang menunggu negara benar-benar hadir.
Red...