Simalakama Dinas PU Bojonegoro: Di Antara Kepentingan Politik, Tarikan Janji, dan Bayang-Bayang Pensiunan
Opini Edukasi.
Bojonegoro, Polemikdaerah.online, – Tahun 2025 menjelma sebagai tahun penuh kerumitan. Di tengah masyarakat kecil yang kian tercekik oleh harga kebutuhan pokok dan kerapian janji pembangunan yang tak kunjung nyata, Dinas Pekerjaan Umum Bojonegoro justru terperangkap dalam jaring simalakama. Bukan hanya soal aspal jalan yang retak atau jembatan yang menua, melainkan pusaran kepentingan yang melilit dari segala arah.
Di meja-meja warung kopi, obrolan tentang PU Bojonegoro jadi santapan sehari-hari. Dari tongkrongan pegiat sosial kontrol hingga ruang diskusi para pemerhati kebijakan, kisah dilematis itu mengalir, bagaimana sebuah dinas yang mestinya jadi tulang punggung pembangunan, justru terseok-seok meniti jalan di antara kepentingan politik, janji kekuasaan, dan perebutan proyek.
Padahal, di atas kertas, rencana kerja kedinasan sudah matang. Dokumen perencanaan digodok, rapat demi rapat diselesaikan, program pembangunan dipatok jelas. Namun kenyataan di lapangan tak sesederhana itu. Anggota DPRD, yang sesungguhnya diberi mandat sebagai pengawas, sering justru tampil sebagai penekan. Mereka mendorong agar proyek infrastruktur dipercepat, bukan semata untuk kepentingan rakyat, tetapi demi memenuhi janji kampanye dan menjaga kepercayaan konstituen. Proyek yang lahir bukan lagi sekadar pembangunan, melainkan mata rantai hutang politik.
Di sisi lain, eksekutif tak mau kalah. Petinggi daerah, dengan segala beban politiknya, menuntut realisasi proyek sebagai bentuk balas jasa kepada para pendukung yang telah mengantarkan mereka ke kursi kekuasaan. Jalan yang diaspal, drainase yang digali, atau jembatan yang dibangun, tak jarang menjadi simbol terima kasih bagi mereka yang dulu bekerja di balik layar pemenangan pilkada.
Namun, drama PU Bojonegoro tak berhenti pada urusan politis. Bayang-bayang masa lalu ikut menambah keruhnya suasana. Sekelompok pensiunan pegawai PU, yang berhimpun dalam wadah perkumpulan, juga ikut masuk gelanggang. Dengan pengalaman dan jaringan yang masih kuat, mereka tak sekadar bernostalgia, melainkan menargetkan bagian dari kue pembangunan. Tak hanya pelaksanaan teknis, bahkan urusan administrasi tender dan penunjukan proyek pun kabarnya sempat diacak-acak oleh kelompok ini.
Kondisi ini membuat banyak kontraktor lokal yang masih merangkak untuk bangkit, seakan tersingkir dari arena. Mereka yang berharap bisa ikut serta dalam pembangunan, justru dibuat kalang kabut menghadapi benturan kepentingan yang saling berebut panggung.
Kini, Bojonegoro memasuki penghujung tahun. November hampir lewat, namun penyerapan APBD masih terseok. Pekerjaan yang mestinya berjalan, masih terbata. Anggaran yang semestinya menjadi denyut pembangunan, justru terancam kembali ke kas negara.
Inilah wajah dilematis sebuah dinas di daerah kaya sumber daya, Dinas PU Bojonegoro ibarat kapal yang ditarik dari banyak arah, politisi dengan janji-janji konstituen, eksekutif dengan utang budi politik, pensiunan dengan hasrat masa lalu, dan kontraktor dengan harapan masa depan.
Pertanyaannya, sampai kapan dinas yang menjadi nadi pembangunan ini terus bergelut dalam pusaran tarik-menarik kepentingan? Sampai kapan pembangunan dibiarkan menjadi korban kompromi politik dan perebutan proyek? Dan siapa yang akhirnya berani berkata, pembangunan mesti kembali pada rakyat, bukan pada kepentingan segelintir saja.
Red...