Rp700 Juta yang Menggantung di Udara, Misteri Perjalanan Dinas Luar Negeri Bojonegoro

Opini Edukasi. 


Bojonegoro, Polemikdaerah.online, - Di ruang maya bernama SIRUP LKPP, sebuah angka besar tercatat rapi Rp700 juta, angka itu bukan sembarang angka. Ia ditulis di bawah judul “Perjalanan Dinas Luar Negeri Tahun Anggaran 2024”, dialokasikan kepada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bojonegoro, dengan metode pelaksanaan swakelola.

Sekilas, publik mungkin membayangkan para pejabat daerah berangkat membawa nama Bojonegoro ke negeri seberang, bertukar gagasan kebudayaan, mempromosikan pariwisata, atau membangun jejaring global, tetapi ketika jejak digital itu ditelusuri lebih jauh hingga September 2025, yang tersisa hanyalah kosong.

Tidak ada nama pelaksana, tidak ada mekanisme perjalanan, tidak ada daftar siapa saja yang pergi, ke mana mereka menuju, dan apa yang mereka bawa pulang, yang ada hanya angka Rp700 juta yang berdiri sendiri, seperti janji yang tak pernah ditepati.

Padahal jelas peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 yang direvisi dengan Perpres Nomor 12 Tahun 2021, sesungguhnya telah memberi garis tegas, setiap kegiatan pengadaan barang dan jasa harus bisa ditelusuri, harus bisa dipertanggungjawabkan. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik bahkan menegaskan lebih jauh, rakyat berhak tahu ke mana uangnya dibelanjakan.

Namun, di Bojonegoro, hingga setahun berjalan, dokumen pertanggungjawaban tak kunjung muncul, publik pun bertanya-tanya, apakah uang itu telah benar-benar dibelanjakan untuk perjalanan, atau hanya berhenti sebagai catatan di atas kertas?

Pertanyaan itu semakin getir ketika dibandingkan dengan kenyataan sehari-hari, Rp700 juta bisa membangun sedikitnya tujuh unit rumah layak huni untuk warga miskin. Bisa memperbaiki puluhan ruang kelas sekolah desa yang reyot. Bisa menjadi modal bergulir bagi kelompok petani yang kini harus berjibaku dengan musim kering.

“Kalau uang segitu dipakai buat sumur bor, satu dusun bisa terbantu. Tapi ini katanya buat jalan-jalan keluar negeri. Siapa yang jalan-jalan? Kita enggak tahu,” keluh seorang warga di tepian Bengawan Solo

Ketika pewarta mencoba menggali jawaban, Kepala Bagian Pengadaan Barang dan Jasa Kabupaten Bojonegoro, David Yudha Prasetya, hanya melempar kalimat pendek, "Bisa langsung ke bagiannya.”

Jawaban yang singkat, padat, dan justru memperlebar ruang kosong publik tidaklah mpenemukan kepastian, hanya semakin dalam tenggelam dalam kabut pertanyaan.

Sejatinya, di titik inilah aparat penegak hukum ditunggu keberaniannya. Kejaksaan, khususnya seksi perdata dan tata usaha negara (Datun), seharusnya tampil menyatakan sikap, menegaskan apakah ada pelanggaran, atau memberi penjelasan agar publik tidak terus dibayangi prasangka.

Namun hingga berita ini diturunkan, keheningan masih menyelimuti kantor kejaksaan, tak ada pernyataan, tak ada sikap, publik pun bertanya, apakah hukum sedang sibuk, atau sengaja memilih diam?

Pada akhirnya, perjalanan dinas luar negeri senilai Rp700 juta itu tinggal jejak di atas kertas, entah benar-benar ada, entah hanya rencana yang tak pernah berjalan.

Yang jelas, publik berhak tahu, karena uang itu bukan milik pejabat, bukan milik dinas, melainkan milik rakyat Bojonegoro, dan setiap rupiahnya harus kembali dengan cerita, bukan dengan tanda tanya.

Red... 


Sebelumnya

item