Rindu yang Tertinggal di Langit
Fiksi.
Tuban, - Di sebuah rumah mungil, tumbuhlah Fauz, sekuntum bunga tunggal di taman keluarganya, ia tidak disirami dengan harta, melainkan dengan doa yang menetes setiap malam, dan kesabaran yang tak pernah kering. Dari tanah kasih sayang itu, ia belajar tentang bakti, mencium tangan ibu yang bagai mata air, menatap ayah yang laksana pohon kokoh, mendengarkan guru bak pelita, dan mendoakan leluhur yang serupa akar dalam.
Namun, perjalanan waktu adalah angin yang tak selalu sejuk, hati Fauz yang dulu jernih, perlahan keruh, ada rindu yang tumbuh seperti ilalang di padang sepi, ada takut yang menjelma bayang, mengekori ke mana pun ia melangkah, ada harapan yang kian tipis, redup, seperti cahaya lilin yang ditiup angin senja.
Ia merindukan ibu, sosok yang selalu ia yakini sebagai surga, namun surga itu ternyata menyimpan duri, luka-luka yang tidak ia tanam, justru tumbuh di antara kasih yang seharusnya teduh, ia pun merindukan ayah, pilar rumah yang dulu tegak di matanya. Namun, kabut fitnah dan prasangka telah meretakkan bayangan itu, hingga yang tampak hanyalah siluet rapuh. Rindunya seperti burung patah sayap, ingin terbang, tapi tersungkur sebelum sampai.
Di balik rindu, ketakutan bersarang, ia takut kasih berubah menjadi duri, takut dirinya hanya menjadi tokoh tambahan dalam cerita yang ditulis orang lain, takut kehidupannya berakhir seperti perahu kecil di tengah samudra, terombang-ambing tanpa nakhoda, tanpa pelabuhan.
Meski demikian, ia masih menggenggam satu harapan, harapan rapuh yang ia peluk erat, ia berharap keluarganya kembali satu, seperti cermin yang tak lagi retak, ia berharap cinta sanggup meruntuhkan amarah, dan doa mampu menyalakan pelita di tengah gelap prasangka. Tetapi harapan itu semakin menipis, bagai garis jingga senja yang perlahan tenggelam ditelan malam.
Di persimpangan resah, Fauz akhirnya menyerahkan dirinya pada Sang Pemilik Hidup. Ia menutup mata, berharap menemukan pintu damai. Ia menghentikan napas, berharap semua luka dan tuduhan ikut padam.
Kini, Fauz bukan lagi tubuh yang terikat tanah, ia menjelma rindu yang berhembus di sela-sela doa. Kadang ia menitipkan pesannya lewat seorang wanita yang ia panggil Umi baru, bukan untuk mengganti ibu, melainkan sebagai jembatan agar rindunya tak tersesat di jalan.
Di alam cahaya, Fauz tenang, ia tak lagi dibelenggu takut, tak lagi mengejar harapan yang fana, ia kini bintang di langit malam menyinari tanpa letih, merindu tanpa suara, berharap luka yang ditinggalkannya sembuh oleh waktu.
Dan dari kejauhan, bisikannya masih terdengar lirih :
"Bu, Yah… aku rindu. Jangan saling menyalahkan. Doakan aku, sebagaimana dulu kalian mendoakan sejak aku lahir. Biarlah luka kalian sembuh oleh doa, dan biarlah rinduku tinggal di langit, menemani kalian setiap malam."
Yasin..