Gaji DPRD Bojonegoro, 16 Kali UMR, 16 Kali Luka Sosial
Opini Edukasi.
![]() |
Foto tangkapan layar platform medsos |
Bojonegoro, Polemikdaerah.online – Di jagat maya, angka-angka itu melompat liar bak kembang api di langit malam, Rp35 juta, Rp40 juta, 14 kali, 16 kali UMR. Bukan angka mistis, bukan pula ramalan, melainkan penghasilan resmi yang setiap bulan mengalir deras ke rekening para anggota DPRD Kabupaten Bojonegoro.
Di sana, gaji pokok hanyalah pucuk gunung es, di bawahnya tersusun lapisan tunjangan jabatan, komunikasi, perumahan, transportasi, hingga fasilitas mobil dinas dan asuransi, semua sah, semua legal, semua diatur undang-undang.
Namun, bandingkan dengan denyut kehidupan di kampung-kampung Bojonegoro, buruh tani masih menggenggam cangkul dengan upah harian yang hanya cukup membeli beras dua liter, pekerja serabutan pulang membawa uang seadanya, sering kali tak lebih dari sejuta rupiah sebulan. Banyak dapur rakyat yang apinya masih menyala dengan kayu bakar, bukan gas bersubsidi, dan lauknya masih sering tempe goreng atau sayur bening seadanya.
Maka wajar jika media sosial meledak, warganet, dengan segala keberanian anonimnya, menuliskan komentar yang menampar logika keadilan. “Apa yang membuatmu spesial hingga pantas menerima 16 kali lipat dari kami?” tanya seseorang. Ada pula yang menyindir lebih tajam: “Itu baru gajinya, belum korupsinya.”
Di titik inilah, kita melihat cermin retak, satu sisi memantulkan citra wakil rakyat yang duduk di kursi empuk, berpendingin ruangan, melintas dengan mobil dinas berpelat merah, dan sesekali difoto sedang rapat paripurna. Sisi lain memperlihatkan rakyat yang masih berkeringat di sawah, pedagang kecil yang menunggu pembeli, tukang becak yang semakin jarang ditoleh. Dua dunia yang kontras, namun konon terhubung oleh mandat demokrasi suara rakyat.
Bukankah DPRD lahir dari suara rakyat? Bukankah kursi itu ditempuh dengan janji untuk memperjuangkan perut kosong, lapangan kerja, dan nasib yang rapuh? Tetapi jurang yang tampak hari ini terlalu lebar, jurang antara janji dan bukti, antara kesejahteraan wakil dan kesengsaraan yang diwakili.
Ada yang berargumen, gaji besar itu wajar, jabatan mulia harus dihargai, tapi pertanyaan yang lebih penting justru lahir dari lubuk hati rakyat :
Sepadankah nilai itu dengan kerja? Adakah sidang-sidang mereka benar-benar menambal bocornya perahu rakyat? Adakah regulasi yang disusun benar-benar menjawab kesenjangan sosial, atau hanya menambah tebal laporan tanpa nyawa?
Bojonegoro, kota yang tanahnya pernah melahirkan minyak, kini justru dipertontonkan pada ironi, sumber daya alamnya tersedot, tetapi anak-anak buruh tani masih kesulitan membeli buku. Sawah-sawahnya luas, tetapi banyak pemuda memilih merantau karena penghasilan di tanah sendiri tak cukup menafkahi keluarga, sementara itu, di gedung dewan, angka Rp40 juta per bulan hanya disebut sebagai hak.
Media sosial pun menjadi panggung alternatif. Di sana rakyat bicara tanpa palu sidang yang bisa mengetuk diam. Di sana lahir sindiran, getir, bahkan makian. Semua itu bukan semata-mata kecemburuan, melainkan jeritan kolektif yang menuntut keseimbangan moral.
Sebab pada akhirnya, angka Rp40 juta bukanlah sekadar nominal, ia adalah pertanyaan moral yang terus bergaung, siapa yang sejatinya dimakmurkan oleh kursi kekuasaan ini? Rakyatkah, atau justru mereka yang menjanjikan akan memperjuangkan rakyat?
Sejarah akan mencatat, bukan hanya besarnya gaji, melainkan keberanian atau ketidakberanian anggota dewan menjawab jurang yang terbentang. Jika jurang ini terus dibiarkan, maka DPRD akan dikenang bukan sebagai rumah aspirasi, melainkan rumah yang nyaman bagi segelintir orang, sementara di luar pagar rakyat menggigil menanti janji yang tak kunjung ditepati.
Red...