Ojek Pangkalan, Bentor, dan Becak, Terlupakan di Tengah Euforia Ojol

Opini Edukasi.o


Bojonegoro, Polemikdaerah.online, - Di jalanan Bojonegoro, mesin-mesin ojol meraung dengan percaya diri, seakan menjadi tanda zaman yang melesat tanpa menoleh ke belakang, mereka diarak dengan puja-puji, disuguhi fasilitas, dan dijanjikan perlindungan, namun di sudut-sudut kota, di bawah pohon-pohon peneduh, masih ada wajah-wajah letih pengayuh becak, sopir bentor, dan ojek pangkalan yang kian menjadi siluet samar di tengah gegap gempita digital.

Becak yang dahulu adalah denyut nadi keramaian pasar dan pengantar anak-anak sekolah, kini bagaikan perahu tua yang hanyut di sungai sepi. Roda-roda tuanya berderit bukan hanya oleh karat, tetapi juga oleh sepi yang menusuk. Bentor, yang sempat menjadi simbol inovasi rakyat, kini justru dibelenggu stigma dan aturan yang tak berpihak. Dan ojek pangkalan, yang bertahun-tahun setia menunggu penumpang di pos kecil pinggir jalan, kini harus rela ditikam pelan-pelan oleh layar ponsel pintar yang menghadirkan saingan tanpa suara.

Inilah ironi sebuah kota. Pemerintah begitu bersemangat memeluk yang modern, tetapi abai terhadap yang tradisional. Bantuan, perlindungan, dan legalitas diguyurkan bagi ojol, sementara becak dan bentor dibiarkan kering seperti rumput di musim kemarau. Mereka tidak dimusuhi, tetapi juga tidak dipeluk, mereka sekadar dibiarkan merana, perlahan hilang dari ingatan.

Padahal, becak bukan sekadar alat angkut, ia adalah cermin budaya, peluh yang jujur, kayuhan yang sabar, dan simbol kerakyatan yang melekat di nadi kota. Menghapus becak sama saja dengan menghapus selembar sejarah, membuang ikon yang pernah membuat Bojonegoro berdenyut hangat dalam kesahajaannya.

Pemerintah semestinya sadar, bahwa membangun kota bukan hanya soal mengejar modernitas, melainkan menjaga keseimbangan antara masa depan dan akar tradisi. Ojol boleh didukung, tetapi becak, bentor, dan ojek pangkalan juga harus diberi ruang bernapas. Mereka tak meminta istana, hanya secuil pengakuan dan kesempatan untuk tetap bertahan.

Jika tidak, suatu hari nanti kita akan berjalan di jalanan Bojonegoro yang sunyi dari deru becak, yang steril dari suara klakson bentor, yang kehilangan wajah-wajah ojek pangkalan. Kota ini mungkin terlihat modern, tetapi di balik kilau aplikasinya, ia adalah kota yang merelakan ruh kerakyatannya terkubur pelan-pelan, seperti bayang-bayang yang terhapus oleh cahaya neon modernitas.

Red... 

Sebelumnya

item