Rel Bengkong, Lorong Sunyi, Kini Menjelma Pondok Pinang, Cermin Retak Kota Bojonegoro

Opini Edukasi


Bojonegoro, Polemikdaerah.online, - Rel Bengkong bukan lagi sekadar besi yang berderit dilewati kereta, ia telah menjelma lorong sunyi tempat nurani kota diperdagangkan, dengan julukan baru Jalan Pondok Pinang, di balik pintu kos-kosan murahan, tubuh dijadikan komoditas, cinta dipangkas jadi tarif, dan dosa dilumuri parfum murah agar tampak wajar, semua orang tahu, tapi banyak yang memilih pura-pura buta.

Kawasan ini, yang seharusnya hanya menjadi bantaran rel biasa, kini dipenuhi cerita gelap yang lebih keras daripada deru lokomotif, warga sekitar sudah kenyang dengan pemandangan muda-mudi keluar masuk kosan, lampu redup yang menyala seperti kode rahasia, hingga bisikan transaksi yang tak tercatat dalam buku negara tapi terukir jelas dalam catatan dosa.

Warga telah bersuara, berkali-kali mereka mengetuk pintu aparat, menyampaikan keresahan yang tak lagi bisa dipendam, Ketua RT didatangi, kelurahan diberi tahu, Satpol PP dilapori, bahkan aduan ke Polres pun sudah berkali-kali dicatat., namun apa hasilnya?, Suara warga itu hanya menjadi gema yang memantul di dinding kekuasaan, keras saat keluar, hampa saat kembali.

Satpol PP datang sebentar, seperti hujan rintik yang tak sempat membasahi tanah. Aparat menoleh sejenak, lalu pergi seperti angin singgah tanpa jejak. Dan setelah itu, Rel Bengkong tetap bergeliat, lebih liar, lebih terang-terangan. Seolah-olah hukum hanya hadir sebagai formalitas, bukan penjaga moral.

Bukankah aparat yang diam sama saja dengan pagar yang berlubang? Bukankah pemerintah yang menutup mata ibarat pemilik rumah yang membiarkan rayap menggerogoti tiang? Pertanyaan ini seharusnya mengguncang nurani mereka yang duduk di kursi kuasa. Untuk apa kursi itu dipertahankan jika marwah kota dibiarkan runtuh di bawah meja transaksi haram?

Kita semua tahu, prostitusi bukan sekadar persoalan moral pribadi, ia adalah kanker sosial yang merambat perlahan, menggerogoti kepercayaan warga, melemahkan nilai keluarga, bahkan melahirkan mata rantai kriminalitas baru, diam di hadapannya bukanlah netralitas, ia adalah bentuk paling telanjang dari pengkhianatan moral.

Bojonegoro bukan kota murahan. Ia lahir dari keringat petani yang mencangkul sawah, darah pejuang yang merebut kemerdekaan, dan doa orang tua yang ingin anak-anaknya tumbuh bermartabat. Kota ini semestinya harum oleh padi, oleh minyak, oleh sejarah panjang yang membanggakan.

Namun kini, wajah Bojonegoro dikotori noda yang dibiarkan tumbuh, karena keberanian para penegak aturan ternyata lebih kecil daripada nyali para mucikari. Kosan murahan disulap jadi kamar-kamar sewa harian, rumah kontrakan berubah jadi tempat singgah, warung remang menjadi saksi bisu jual beli tubuh. Semua orang tahu, semua orang melihat, tapi kota seolah menutup mata.

Jika hari ini Rel Bengkong dibiarkan, besok seluruh kota bisa bernasib sama, tubuh kota dijual, nurani dipajang di etalase dosa, dan moral menjadi barang langka.

Sejarah tidak pernah menulis dengan tinta manis, ia menulis dengan darah, air mata, dan noda yang tak dihapuskan. Dan kelak, sejarah akan menulis bahwa bukan hanya para pelaku mesum yang berdosa, tetapi juga mereka yang punya kuasa namun memilih diam.

Rel Bengkong adalah cermin retak. Ia memantulkan wajah pembangunan dan modernitas di satu sisi, namun menampakkan noda yang tak pernah dibersihkan di sisi lain. Selama noda itu dibiarkan, cermin itu akan terus retak, hingga suatu hari pecah dan melukai semua yang bercermin padanya.

Kota ini membutuhkan keberanian. Bukan sekadar operasi sesaat untuk memuaskan pemberitaan media, bukan pula janji manis yang basi di meja rapat. Bojonegoro perlu tangan tegas, hukum yang benar-benar bekerja, dan aparat yang tak mudah dibeli.

Sebab kota yang membiarkan prostitusi berkeliaran sama saja menulis akta kematiannya sendiri, mati rasa, mati malu, dan akhirnya mati nurani. Dan saat nurani mati, maka yang tersisa hanyalah kota kosong, hidup tapi tak berjiwa, berdiri tapi tanpa harga diri.

Rel Bengkong adalah peringatan. Ia adalah luka yang menganga, menunggu ditutup oleh keberanian. Jika tidak, ia akan terus bernanah, menularkan busuknya ke seluruh tubuh kota. Pertanyaannya tinggal satu: beranikah Bojonegoro membersihkan dirinya, atau rela menjual marwahnya dengan harga sewa per jam?

Red... 



Sebelumnya

item