Tangisan Keadilan di Tuban, Anak Terluka, Pelaku Bebas, Rakyat Menggugat
Opini Edukasi.
Tuban, Polemikdaerah. online, - Putusan bebas Aris Roziqin, terdakwa kasus kekerasan anak, adalah sebuah ironi. Ia bukan hanya mencederai hati korban, tetapi juga memperlihatkan wajah buram peradilan di negeri ini. Bagaimana mungkin seorang residivis kasus pembunuhan tahun 2012 bisa kembali lolos dari jeratan hukum, sementara pasal perlindungan anak begitu jelas menegaskan ancaman pidananya?
Di Tuban, rakyat menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa hukum tidak lagi berfungsi sebagai pelindung bagi yang lemah. Yang mereka lihat hanyalah ruang pengadilan yang seolah-olah menjadi panggung dagelan, tempat vonis bisa ditukar, dan keadilan diperdagangkan.
Kemarahan publik yang memuncak pada 10 September 2025 hanyalah konsekuensi logis dari ketidakadilan yang nyata. Puluhan massa dari berbagai ormas dan LSM turun ke jalan, mengepung Pengadilan Negeri Tuban. Mereka tidak sekadar berteriak, tetapi menuding terang-terangan adanya permainan hukum. Sebab mustahil seorang pelaku dengan rekam jejak kelam bisa bebas begitu saja tanpa adanya celah rekayasa di balik meja hijau.
Lebih dari sekadar sebuah vonis, putusan ini menjadi simbol rapuhnya negara hukum. Jika kekerasan pada anak, korban paling rentan yang seharusnya mendapat perlindungan absolut, justru diperlakukan seperti ini, bagaimana nasib rakyat kecil lain yang berjuang mencari keadilan?
Lebih ironis lagi, Ketua PN Tuban memilih bungkam. Pihaknya tidak berani menemui massa, hanya mengutus seorang juru bicara yang ditolak mentah-mentah. Sikap ini mempertegas jarak antara pengadilan dengan rakyat. Seolah-olah pengadilan adalah menara gading yang steril dari jeritan publik, padahal sejatinya ia lahir untuk melindungi kepentingan rakyat.
Delapan tuntutan yang digemakan aliansi massa adalah suara hati nurani. Mereka bukan hanya mendesak agar hakim diperiksa dan jaksa dievaluasi, tetapi juga menuntut agar lembaga setingkat DPR RI, MA, hingga Komisi Yudisial segera turun tangan. Sebab jika kasus ini dibiarkan, ia akan menjadi preseden berbahaya, bahwa keadilan bisa dibeli, dan pelaku bisa bersembunyi di balik toga hakim.
Tuban hari ini adalah potret kecil dari kerusakan besar yang menggerogoti sistem hukum di negeri ini. Sebuah tanda bahaya bahwa hukum tidak lagi tegak lurus, melainkan bengkok mengikuti kepentingan.
Keadilan tidak boleh kalah. Publik sudah bersuara, dan suara itu terlalu lantang untuk diabaikan. Kini, bola ada di tangan Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, dan para pemimpin bangsa, apakah mereka mau mendengar jeritan rakyat, atau memilih diam dan menjadi bagian dari konspirasi hukum yang kotor?
.