Jalan Usaha Tani Bojonegoro, Anggaran Ambisius, Realisasi Nol

Opini Edukasi. 


Bojonegoro, Polemikdaerah.online – Menjelang tutup tahun anggaran 2025, publik Bojonegoro menunggu jawaban sederhana namun krusial, sejauh mana pembangunan jalan usaha tani (JUT) yang digadang-gadang menjadi penopang produktivitas pertanian telah terealisasi?

Hingga kini, Dinas Pertanian Bojonegoro belum merilis data detail mengenai panjang, volume, maupun titik lokasi JUT yang benar-benar terbangun di lapangan. Kondisi ini memunculkan tanda tanya besar, apakah perencanaan sejak awal memang tidak matang, ataukah instansi terkait belum memiliki kapasitas sumber daya manusia (SDM) untuk membaca kebutuhan riil petani di tengah tantangan iklim dan produktivitas?

Kepala Dinas Pertanian melalui Kabid Yuni Arba’atun menyebut, rencana pembangunan JUT tahun 2025 mencakup 127 paket dengan total luasan 26.162 m², tersebar di 22 kecamatan, angka tersebut tampak ambisius dan menjanjikan di atas kertas.

Namun hingga akhir September, ia mengakui belum ada satu pun JUT yang terealisasi, target besar yang berhadapan dengan capaian nihil ini memunculkan pertanyaan mendasar, di mana letak kendala sebenarnya? Apakah pada tahap perencanaan, proses lelang yang mandek, atau pelaksanaan yang tidak berjalan sama sekali?

Bagi petani, JUT bukan sekadar proyek infrastruktur, melainkan kebutuhan vital, seorang petani desa di wilayah pinggiran mengeluhkan, “Kalau hujan, jalan becek, hasil panen kadang harus ditaruh di pinggir sawah menunggu cuaca cerah. Katanya ada program JUT, tapi sampai sekarang kami tidak pernah lihat ada alat berat masuk.”

Keluhan serupa datang dari aktivis pemuda desa. “Petani di sini butuh jalan yang bisa dilalui saat panen raya. Kalau gabah tidak bisa keluar karena jalan rusak, itu sama saja memutus rezeki mereka,” ujarnya.

Kondisi lapangan ini kontras dengan dokumen perencanaan yang penuh angka dan target, namun nihil implementasi.

Dalam mekanisme perencanaan pembangunan daerah, selain hasil Musrenbang, pokok-pokok pikiran (pokir) DPRD kerap masuk ke dalam program OPD. Secara prosedural hal ini sah, namun publik berhak mempertanyakan apakah aspirasi tersebut benar-benar disusun secara sistematis, atau hanya titipan politik.

Fenomena stagnasi JUT Bojonegoro menyingkap sisi lain, infrastruktur pertanian yang semestinya hadir sebagai penopang produktivitas justru lebih sering terdengar sebagai jargon politik ketimbang realitas di lapangan.

Publik kini kehilangan pijakan untuk menilai efektivitas pembangunan, tanpa transparansi data resmi, sulit membedakan mana proyek prioritas pembangunan daerah dan mana sekadar hasil aspirasi politik.

Beberapa kalangan masyarakat mengharapkan adanya solusi sesungguhnya bukan hal baru, publikasikan data resmi terkait lokasi, panjang, volume, dan besaran anggaran JUT secara berkala, Libatkan kelompok tani dalam verifikasi lapangan, Buka ruang monitoring publik, misalnya lewat laman resmi pemerintah daerah atau forum musyawarah desa, Kawal konsistensi anggaran, agar JUT tidak sekadar menjadi instrumen politik sesaat.

Ujian terbesar pembangunan JUT di Bojonegoro bukanlah seberapa besar anggaran yang dicantumkan dalam APBD, melainkan seberapa nyata jalan itu bisa dilalui petani saat musim tanam dan panen.

Selama target besar hanya berhenti sebagai angka tanpa realisasi, JUT akan tetap menjadi jargon pembangunan, indah dalam dokumen, tetapi hampa di sawah.

Red... 

Sebelumnya

item