Desa Digital Tuban, Jargon Canggih, Anggaran Miliaran, Jawaban yang Menghilang


Tuban, Polemikdaerah.online – Kata-kata bisa jadi cahaya, tapi juga bisa menipu mata, di podium kekuasaan, jargon meluncur gemerlap, digitalisasi, modernisasi, transformasi desa. Program Desa Digital pun dipuja sebagai mercusuar zaman, konon siap mengantar pelosok Tuban melompat ke era baru.

Namun ketika kaki melangkah ke balai desa, yang dijumpai bukanlah sinar, melainkan kabut.

Miliaran rupiah anggaran desa telah dialirkan. Sumbernya dari uang rakyat, yang mestinya menambal jalan, mengairi sawah, atau menambah obat di puskesmas, kini ia berwujud langganan internet.

Di atas kertas, janji itu tampak indah, setiap balai desa terkoneksi, diharapkan semua warga menatap dunia, tapi pertanyaan yang lebih nyaring menggema, benarkah uang itu menjelma manfaat, atau sekadar angka yang menguap?

Publik mencari jawaban, tapi pintu birokrasi terkunci rapat. Dinas Sosial P3A PMD Tuban bungkam, surat-surat permintaan klarifikasi hanya berakhir sebagai arsip tak bernyawa, diam menjadi dinding yang menyesakkan.

“Diamnya pejabat publik bukan sekadar abai. Itu bisa jadi pelecehan terhadap undang-undang,” lontar Sugeng SP, Ketua LSM GMBI Wilter Jatim, dengan suara bergetar marah.

Sugeng menuding banyak hal ganjil: mengapa penyedia internet desa jatuh kepada ICON+? Adakah tender terbuka, atau sekadar penunjukan langsung? Dari mana muncul angka Rp2,5 juta per balai desa? Bagaimana kualitas koneksi yang dibayar semahal itu?

Hitungan sederhana membuat publik tercekat, Tuban punya lebih dari 300 desa. Jika tiap balai desa membayar Rp2,5 juta sebulan, setahun terkumpul Rp9 miliar. Angka yang menggelegar, sementara di banyak desa, jalan masih berlubang, sumur masih kering, dan posyandu masih kekurangan timbangan bayi.

Sugeng menegaskan, kebisuan ini bisa dikategorikan sebagai maladministrasi. Bila terus dibiarkan, GMBI siap mengetuk pintu Ombudsman RI, Kejati Jatim, hingga Kejagung RI.

“Diam adalah tanda. Bisa jadi ada sesuatu yang disembunyikan. Dan itu berbahaya,” tegasnya.

Pada akhirnya, rakyat hanya meminta satu hal, jawaban yang jujur, terang, dan sesuai amanat UU Keterbukaan Informasi Publik.

Namun yang terdengar hanya senyap, dalam senyap itu, tumbuh prasangka, Desa Digital hanyalah cahaya di papan nama, tapi gulita di kenyataan.

Apakah program ini akan menjadi pintu cahaya yang benar-benar membawa desa-desa Tuban menatap dunia, atau sekadar lorong gelap tempat miliaran rupiah terkubur tanpa jejak?

Jawaban itu kini terperangkap dalam sunyi birokrasi.

Red... 



Sebelumnya

item