Rp 107 Juta untuk Stempet di PU SDA Bojonegoro: Simbol Kecil dari Kebusukan Besar
![]() |
Data dari portal resmi SIRUP LKPP mencatat bahwa stempet dibeli sebanyak 500 kilogram, dengan harga satuan Rp 214.000/kg. Padahal, harga pasar untuk pelumas teknis standar (EP2 lithium grease) berkisar antara Rp 40.000 hingga Rp 75.000/kg, selisih yang tidak bisa lagi disebut kesalahan teknis, tetapi indikasi kuat rekayasa harga atau markup berjamaah.
"Ini bukan sekadar pemborosan. Ini perampokan uang rakyat secara halus, pakai kuitansi resmi,” tegas Galih, aktivis pegiat informasi publik Bojonegoro.
Galih menyebut praktik seperti ini jamak terjadi dalam pengadaan barang bernilai kecil, karena luput dari pengawasan ketat auditor. Pelumas, alat tulis, cat, bahkan teh celup, semua bisa dipakai jadi ATM birokrasi, selama sistemnya terus dibiarkan bobrok.
Saat dikonfirmasi pewarta, Kepala Dinas PU SDA Helmi Elisabeth hanya menjawab pendek: “Saya masih ada kegiatan.” Tak ada penjelasan teknis. Tak ada klarifikasi spesifikasi barang. Tak ada informasi ke publik. Hanya diam dan menghindar.
“Ini sudah jadi pola: setiap ada pengadaan janggal, pejabatnya mendadak sibuk, mendadak lupa, mendadak bisu,” sindir Galih jurnalis investigasi lokal.
Padahal transparansi adalah kewajiban. UU KIP mengatur keterbukaan informasi publik, apalagi terkait anggaran. Namun praktik di Bojonegoro justru menormalisasi pembungkaman informasi dengan alasan-alasan dangkal.
Ironis, anggaran jumbo untuk pelumas mesin ini muncul di tengah penderitaan petani yang bertahun-tahun menanti perbaikan pompa dan saluran irigasi. Di wilayah-wilayah Bojonegoro pinggiran, seperti Kanor, saluran teknis rusak parah, pompa air mati, namun tak kunjung diperbaiki.
P"etani sudah lama teriak. Tapi yang didengar justru suara oli dan stempet,” ujar Sujiman, petani Bojonegoro pinggiran..
Yang lebih memprihatinkan, tidak ada satu pun anggota DPRD Bojonegoro yang angkat suara. Tidak ada desakan klarifikasi, tidak ada rapat dengar pendapat, tidak ada kritik terbuka. Lembaga legislatif seolah berfungsi sebagai pelengkap penderitaan rakyat.
“Kalau soal seremoni, foto-foto, lomba-lomba, DPRD cepat. Tapi kalau ada potensi penyimpangan anggaran, mereka bungkam. Untuk siapa mereka bekerja?” terang Koh Akhsin dalam bertanya
Sejumlah organisasi masyarakat sipil mulai menyusun laporan ke Inspektorat Daerah, APIP, bahkan mempertimbangkan pelaporan ke Kejaksaan Negeri Bojonegoro atas dugaan penggelembungan harga dan pelanggaran asas efisiensi anggaran.
"Kami ingin ini jadi pintu masuk untuk audit menyeluruh, tidak hanya stempet, tapi semua item belanja kecil yang selama ini jadi ‘sapi perah’ oknum OPD,” tegas Yayan Firmansyah dari Forum Rakyat Kawal Anggaran.
Red...