Wartawan Dianiaya Saat Meliput, Bupati Situbondo Diduga Terlibat: Kekuasaan yang Kebal Hukum?


Situbondo, Polemikdaerah.online — Kekerasan terhadap jurnalis kembali terjadi, kali ini diduga melibatkan orang nomor satu di Kabupaten Situbondo. Aksi damai yang digelar Aliansi Solidaritas Bersama (ASB) pada Kamis pagi, 31 Juli 2025, di alun-alun Situbondo, berujung pada insiden berdarah setelah Bupati Yusuf Rio Prayogo mendatangi lokasi unjuk rasa dengan sikap konfrontatif.

Seorang wartawan Radar Situbondo, Humaidi, menjadi korban dugaan penganiayaan saat sedang melakukan peliputan. Ia diseret, dipukul hingga jatuh, dan kembali dipukul saat hendak bangkit. Peristiwa itu terjadi usai ia merekam aksi bupati yang diduga mencoba merebut paksa ponsel miliknya.

Ironisnya, aksi brutal tersebut terjadi di ruang publik, di tengah kerumunan massa dan disaksikan banyak pihak. Namun hingga kini, tidak ada satu pun anggota aparat kepolisian yang menetapkan pelaku atau melakukan penangkapan di tempat. Padahal, bukti visual dan keterangan saksi sangat memungkinkan dilakukan penindakan cepat.

Kondisi ini memunculkan dugaan bahwa hukum di Situbondo bekerja secara selektif, terutama bila kekerasan melibatkan pejabat daerah. Jika seorang bupati bisa mendatangi aksi damai sambil membawa rombongan, termasuk ibu-ibu, Satpol PP, dan sejumlah orang tak dikenal, lalu terjadi pemukulan terhadap jurnalis, maka keamanan dan konstitusi semua tidak berarti.

Ketua LSM SITI JENAR, Eko Febriyanto, menyebut tindakan yang dialami Humaidi sebagai kriminal murni dan bentuk penghalang-halangan kerja pers yang tak bisa ditoleransi. Ia menyoroti buruknya pengamanan dari aparat, yang justru membiarkan kericuhan terjadi dalam unjuk rasa yang sejak awal berjalan tertib.

Kekerasan terhadap Humaidi bukan hanya serangan fisik, tapi juga serangan terhadap prinsip demokrasi dan kebebasan pers. Dalam negara hukum, kerja jurnalistik dilindungi secara tegas oleh UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal 18 ayat (1) menyebutkan bahwa tindakan menghambat atau menghalangi kegiatan jurnalistik adalah tindak pidana.

Namun, ketentuan itu tampaknya diabaikan. Pemerintah Kabupaten Situbondo bungkam, tidak ada klarifikasi, permintaan maaf, apalagi pertanggungjawaban. Sementara kepolisian cenderung pasif, seolah abai terhadap pemukulan yang sudah dilaporkan ke Polres.

“Ini bukan salah paham. Ini kekerasan terstruktur. Ada pembiaran, ada keterlibatan kekuasaan, dan ada korban yang nyata,” jelas Eko.

Ia juga menyebutkan bahwa pelaku kekerasan bukan hanya bisa dijerat UU Pers, tetapi juga melanggar UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 12 Tahun 2005 tentang Konvensi Hak Sipil dan Politik, dan Perkap No. 8 Tahun 2009 tentang pengimplementasian prinsip HAM dalam tugas kepolisian.

Yang menjadi sorotan tajam adalah ketidakhadiran tindakan konkret dari pihak Polres Situbondo. Padahal laporan sudah masuk, saksi sudah ada, dan korban telah menjalani perawatan medis. Apakah aparat menunggu izin politik untuk bertindak? Apakah hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas.

Di sisi lain, komunitas jurnalis lokal menyerukan solidaritas nasional, agar kejadian ini tidak menguap begitu saja. Mereka mendesak Dewan Pers, Komnas HAM, dan Komisi III DPR RI turun tangan menyelidiki dugaan pelanggaran hukum oleh Bupati Situbondo dan ketidakberesan penanganan kasus oleh aparat penegak hukum.

“Jika wartawan bisa dipukul di siang bolong, di tempat umum, dan pelakunya diduga adalah pejabat publik tanpa konsekuensi, maka apa jaminan keamanan bagi warga biasa” pungkasnya.

Red... 

Sebelumnya

item