Menjelang Injury Time Musda Golkar Bojonegoro, Perdebatan Putusan MK dan Isu Banpol Makin Panas
Opini Edukasi.
Bojonegoro, Polemikdaerah.online, – Menjelang detik-detik pemilihan Ketua DPD Partai Golkar Bojonegoro, tensi politik internal kian memanas. Dua kubu saling adu tafsir terkait Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas Pasal 28 Ayat (3) UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Perbedaan interpretasi ini semakin kompleks karena bersinggungan dengan isu rangkap jabatan dan sorotan publik terhadap realisasi Dana Bantuan Keuangan Partai Politik (Banpol) Golkar periode 2020–2024.
Pusat polemik terletak pada posisi Sekretaris DPD Golkar Bojonegoro, Moch. Mansur, yang juga menjabat Ketua Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Bojonegoro. Sebagian pihak mempertanyakan legalitas rangkap jabatan tersebut, sementara Mansur mengklaim tindakannya sah secara hukum.
Versi Mansur mengacu pada Putusan MK Nomor 183/PUU-XXII/2024 yang merujuk Putusan Nomor 91/PUU-XX/2022. Menurutnya, larangan rangkap jabatan tidak berlaku untuk pimpinan partai politik, apalagi AD/ART Golkar tidak memuat larangan tersebut. “Putusan MK telah membatalkan pasal larangan rangkap jabatan jika dimaknai melarang pimpinan partai,” ujarnya.
Sebaliknya, narasi yang berkembang di publik menegaskan bahwa larangan rangkap jabatan justru diperkuat. Putusan 91/PUU-XX/2022 memang membatalkan Pasal 28 Ayat (3) UU Advokat, tetapi hanya dalam kerangka inkonstitusional bersyarat. Artinya, ketentuan tetap berlaku dengan penegasan bahwa pimpinan organisasi advokat yang memegang jabatan maksimal 5 tahun, dapat dipilih kembali satu kali, tidak dapat merangkap sebagai pimpinan partai politik di tingkat pusat maupun daerah., wajib nonaktif sebagai pimpinan organisasi advokat jika diangkat atau ditunjuk sebagai pejabat negara.
Putusan 183/PUU-XXII/2024 bahkan menegaskan klausul nonaktif ini sebagai syarat mutlak agar pasal tersebut tetap konstitusional.
Meski secara formal Mansur tidak menjabat sebagai pejabat negara, tafsir publik bahwa pimpinan advokat tidak boleh merangkap pimpinan partai telah menjadi bahan bakar isu politik di Musda. Lawan politik memanfaatkannya untuk menggugat legitimasi kepengurusan, sementara pendukung Mansur menilai ini hanya manuver pembentukan opini.
Di luar perdebatan hukum, riak konflik kian besar akibat isu dugaan ketidakberesan realisasi Banpol Golkar periode 2020–2024. Isu ini, meski belum terbukti secara hukum, menjadi amunisi retorika untuk menyerang kredibilitas pengurus petahana.
Jika tidak ada forum klarifikasi resmi, dua tafsir hukum ini berpotensi menggerus soliditas kader. Musda yang semestinya menjadi momentum konsolidasi malah terancam menjadi arena saling jegal dengan instrumen tafsir hukum dan isu keuangan partai.
Meski kedua kubu mengklaim berpegang pada landasan hukum, potensi kompromi masih samar. Jika perbedaan ini tidak segera diselesaikan, Golkar Bojonegoro terancam terpecah belah, dan Musda yang seharusnya menjadi ajang konsolidasi malah berubah menjadi arena perpecahan internal.