Main Game Jackpot, Diseret Polisi — Publik Pertanyakan Mandeknya Proses Hukum

Opini Edukasi.

Bojonegoro, Polemikdaerah.online — Dua pekan lalu, lima pemuda Desa Tambakromo, Kecamatan Malo, digelandang polisi dari sebuah warung kopi setelah kedapatan bermain game daring jenis jackpot berbasis taruhan uang. Game tersebut terhubung ke situs dengan sistem top-up saldo via e-wallet dan kemenangan acak (random jackpot) yang menawarkan iming-iming jutaan rupiah.

Namun, sejak penangkapan itu, kelanjutan proses hukumnya hilang dari radar publik. Situs resmi Kejaksaan Negeri Bojonegoro tidak memuat satu pun informasi penerimaan berkas perkara judi online sepanjang tahun 2025. Kondisi ini memunculkan dugaan bahwa perkara selesai di tingkat penyidik tanpa melangkah ke tahap penuntutan.

Pasal 303 KUHP tegas menyebut bahwa baik pemain maupun penyedia sarana perjudian adalah pelaku tindak pidana. Pertanyaan pun mengemuka: mengapa hanya pemain kelas bawah yang ditangkap, sementara operator situs tetap bebas?

Rumor yang beredar di masyarakat menyebut para pemuda tersebut dibebaskan setelah menyerahkan sejumlah uang kepada oknum, bahkan disebut mencapai puluhan juta rupiah. Dugaan ini belum terverifikasi, namun menguatkan keresahan warga akan potensi penyimpangan prosedur hukum dan pelanggaran etika aparat.

Ironisnya, peristiwa serupa kembali terjadi. Pada 11 Agustus 2025 malam, Satreskrim Polres Bojonegoro menggerebek warung kopi di Desa Sobontoro, Kecamatan Balen, dan menangkap lima pemain judi online. Salah satunya diduga merupakan oknum perangkat Desa Prambatan. Kepala Desa Prambatan, Eko Purwanto, saat dikonfirmasi 12 Agustus memilih diam.

Kasi Humas Polres Bojonegoro, Iptu Kariyanto, ketika dihubungi pewarta via pesan pribadi WhatsApp, tidak memberikan jawaban substansi dan mengarahkan ke KBO Reskrim. Hingga kini belum ada keterangan resmi terkait status perkara kedua penangkapan tersebut.

Pakar hukum pidana menegaskan, penindakan judi online harus berbasis digital forensics yang komprehensif: memetakan lokasi aktivitas, menganalisis perangkat dan transaksi digital, hingga mengidentifikasi jaringan pengelola situs. Menindak pemain tanpa menyentuh aktor utama justru berpotensi menjadi kriminalisasi sepihak terhadap pengguna yang minim pemahaman hukum.

Selain itu, perangkat cyber forensics di tingkat Polres Bojonegoro masih terbatas, sehingga pembuktian kerap bergantung pada peralatan di Polda Jawa Timur. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan, mengapa penetapan tersangka bisa begitu cepat sementara bukti digital belum dianalisis mendalam?

Publik menuntut transparansi, akuntabilitas, dan kesetaraan hukum. Penegakan hukum tidak boleh tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Jika terbukti bersalah, pelaku harus diproses secara adil. Namun jika mereka hanya dijadikan kambing hitam demi memenuhi target operasi, maka keadilan telah dikhianati.

Hingga berita ini diterbitkan, baik Polres maupun Kejari Bojonegoro belum memberi keterangan resmi atas status kedua perkara tersebut.

Red... 

Sebelumnya

item