BKK Desa Rp100,8 Miliar di Bojonegoro: Transparansi Minim, Isu “Cashback” Mengintai

Opini Edukasi.


BOJONEGORO, Polemikdaerah.online — Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bojonegoro kembali mengguyur anggaran jumbo melalui program Bantuan Keuangan Khusus (BKK) desa. Berdasarkan Keputusan Bupati Nomor 188/242/KEP/412.013/2025 tertanggal 14 Juli 2025, total dana yang digelontorkan mencapai Rp100,8 miliar lebih untuk lebih dari 100 desa di hampir seluruh kecamatan.

Jenis proyek yang dibiayai mencakup pembangunan balai dan kantor desa, jalan, jembatan, lapangan olahraga, polindes, sarana wisata, hingga pengadaan gamelan perunggu. Nilai bantuan bervariasi, dari Rp150 juta hingga lebih dari Rp4 miliar per desa.

Pemkab menyebut kebijakan ini sebagai tindak lanjut perubahan APBD hasil kesepakatan dengan DPRD. Namun, dokumen lampiran yang memuat daftar lengkap desa penerima dan rincian proyek tidak pernah dipublikasikan. Dinas teknis maupun Dinas Kominfo—yang menjadi corong resmi Pemkab—tidak memberikan akses, membuat pengawasan publik nyaris mustahil dilakukan.

Secara hukum, SK Bupati adalah produk hukum bersifat penetapan (beschikking) yang konkret, individual, dan final, serta menjadi dasar pelaksanaan anggaran. Karena menyangkut penggunaan uang publik, transparansi dan akuntabilitas adalah keharusan mutlak.

Sejumlah pemerhati anggaran memperingatkan risiko tumpang tindih dengan Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD) dari APBN. “Kalau program tidak sinkron, bisa terjadi proyek ganda, sementara kebutuhan prioritas lain justru terbengkalai,” kata seorang aktivis pemantau APBD.

Lebih memprihatinkan, di lapangan beredar isu jual-beli paket proyek. Beberapa perangkat desa penerima bantuan mengaku diminta mencari kontraktor dengan skema “cashback” 10–17 persen dari nilai pagu, dibayar di muka. Kontraktor pun terpaksa mencari pendanaan untuk “membeli” paket, yang pada akhirnya memotong biaya riil pembangunan.

Jika benar terjadi, praktik ini melanggar Perpres No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan berpotensi masuk kategori tindak pidana korupsi karena ada pengaturan dan pemotongan dana proyek. Dampaknya fatal: kualitas bangunan merosot, umur pakai infrastruktur desa menyusut drastis, dan publik kehilangan manfaat.

Meski Inspektorat Kabupaten dan dinas teknis disebut akan melakukan pengawasan, publik masih mengingat temuan BPK pada program serupa di tahun-tahun sebelumnya yang mengungkap kekurangan volume pekerjaan, administrasi bermasalah, dan indikasi kerugian negara.

“Tanpa publikasi penerima dan rincian proyek, BKK Desa ratusan miliar ini rawan menjadi ladang bancakan yang meninggalkan beban kerugian jangka panjang bagi daerah,” tegas seorang pegiat informasi lokal.

Hingga berita ini diturunkan, pihak-pihak terkait belum memberikan klarifikasi resmi.

Red.. 

Sebelumnya

item