BKKD jatim 2024, Bojonegoro Kebagian Rp1,3 Miliar untuk 13 Desa, Berkah atau Beban?
Opini Edukasi.
Bojonegoro, Polemikdaerah.online – Pemerintah Provinsi Jawa Timur kembali menurunkan Bantuan Keuangan Khusus (BKK) Bidang Pemberdayaan Masyarakat dan Desa untuk Tahun Anggaran 2024. Lewat Keputusan Gubernur, dana sebesar Rp33,7 miliar digelontorkan untuk 30 kabupaten/kota, termasuk Bojonegoro. Anggaran ini sudah diverifikasi Dinas PMD Jatim dan resmi menjadi “amunisi” program pemberdayaan di desa-desa sepanjang tahun.
Namun di balik angka fantastis ini, kecemasan publik justru makin besar, apakah dana ini benar-benar mendarat di tujuan, atau kembali tersedot dalam pusaran masalah klise, pengawasan longgar, pelaksanaan seadanya, serta laporan-laporan manis yang tak mencerminkan fakta lapangan?
Keputusan Gubernur menegaskan fokus BKK pada empat program: Pemberdayaan BUMDes, Desa Berdaya, Jatim Puspa, dan biaya operasional daerah. Secara konsep, deretan program ini tampak ideal—memperkuat ekonomi mikro, menggenjot kapasitas warga, dan memupuk kemandirian desa.
Tetapi publik sudah terlalu sering disuguhi konsep indah tanpa realisasi memadai. Pengalaman tahun-tahun sebelumnya membuat masyarakat tak sepenuhnya percaya. Banyak program pemberdayaan berakhir sebagai kegiatan seremonial, laporan normatif, atau bahkan menjadi ladang penyimpangan yang dibungkus administrasi rapi.
Dalam SK Gubernur tersebut, Kabupaten Bojonegoro, terdapat 13 desa yang menerima BKK 2024 dengan total anggaran Rp1.306.250.000. Desa-desa itu tersebar di beberapa kecamatan dengan jenis program yang berbeda.
Program Pemberdayaan BUMDes, yang menyentuh desa-desa di Kecamatan Bubulan, Bojonegoro, Kalitidu, Margomulyo, dan Malo. Program ini disebut-sebut sebagai “penguatan motor ekonomi desa”.
Namun pertanyaan publik lebih keras daripada slogan, bagaimana mungkin BUMDes yang masih terseok mengurus administrasi justru diberi beban lebih besar?, mampukah mereka menahan godaan kebocoran dan permainan pengelolaan?
Program Desa Berdaya, menyasar desa-desa di Kecamatan Kapas dan Ngraho, dengan tujuanya yang mulia, untuk meningkatkan kapasitas dan menggerakkan usaha produktif, tapi realitas sering jauh berbeda. Banyak program Desa Berdaya sebelumnya hanya melahirkan pelatihan tanpa hasil, kegiatan formalitas yang berulang, atau aktivitas yang sebatas menggugurkan kewajiban.
Sedangkan Program Jatim Puspa, untuk desa-desa di Kecamatan Kedungadem, Sugihwaras, dan Purwoasri. Program yang fokus pada pemberdayaan perempuan dan ekonomi keluarga ini punya potensi besar, tetapi juga punya reputasi buruk, lebih banyak laporan kegiatan daripada perubahan nyata.
Semua pembiayaan berasal dari APBD Provinsi Jatim melalui DPA KPPKD. Artinya, ini uang rakyat. Dan publik kini menuntut jaminan: jangan sampai dana miliaran rupiah ini kembali berubah menjadi proyek asal jalan, kegiatan copy-paste, atau laporan indah tanpa dampak.
Secara normatif, setiap penerima wajib melaksanakan program secara bertanggung jawab. Tetapi masyarakat paham betul, regulasi hanyalah tulisan bila tidak diikuti pengawasan kuat.
Ajakan transparansi kembali digaungkan, tetapi bagi sebagian warga, seruan ini terdengar seperti alarm dini, peringatan bahwa tanpa kontrol ketat, program pemberdayaan bisa kembali masuk dalam lubang hitam praktik lama: anggaran habis, dampak minim, laporan sempurna.
Di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih, masyarakat Bojonegoro hanya meminta satu hal: jangan jadikan BKK 2024 sebagai ritual tahunan tanpa hasil.
BKK bukan sekadar angka dalam lembar DPA. Ia adalah janji pemerintah untuk memperkuat pondasi ekonomi desa. Tapi sejarah sudah terlalu sering membuktikan bahwa janji bisa runtuh tanpa pengawasan publik yang nyata.
Kini sorotan publik tertuju pada 13 desa penerima BKK di Bojonegoro, akankah mereka membuktikan diri sebagai desa yang benar-benar berdaya, atau justru menambah daftar panjang program pemberdayaan yang gagal meninggalkan perubahan?
Red...
.jpg)