Penghargaan Mengkilap, Realita Menggelitik, K3 di Bojonegoro Masih Sekadar Poster

Opini Edukasi. 

Ilustrasi gambar pekerja menggunakan APD setelah ada kritikan

Bojonegoro, Polemikdaerah.online, - Panggung Naker Award 2025 mungkin tampak gemerlap, megah, dan penuh tepuk tangan. LSP K3 sukses membawa pulang predikat “Lembaga Sertifikasi Profesi Terbaik”, sementara nama putra daerah R. Herjuna dielu-elukan sebagai motor penggerak keberhasilan itu. Barisan ucapan selamat berseliweran, lengkap dengan kata-kata manis penuh kebanggaan tertata rapi, seremonial, dan nyaris tanpa cela.

Namun begitu kaki kembali menapak di tanah Bojonegoro, aroma ironi langsung menusuk tajam.

Di berbagai lokasi konstruksi, dari proyek jalan, gedung, hingga drainase, pemandangan para pekerja tanpa helm, tanpa rompi, dan tanpa sepatu keselamatan masih menjadi hal lumrah. Bukan sekali-dua kali, tetapi nyaris merata. Sementara sertifikasi dan komitmen K3 selalu dijual dengan bungkus mewah, realitanya justru menampakkan ketelanjangan paling sederhana: budaya keselamatan itu belum benar-benar hidup.

Pertanyaannya menggantung pedas, d mana K3 yang katanya dibangun dengan bangga itu?, di mana bukti kompetensi para tenaga kerja yang diklaim sudah tersertifikasi?

Ketika pejabat daerah dan lembaga sertifikasi berbicara lantang soal kualitas SDM, profesionalisme, dan komitmen keselamatan, masyarakat justru disuguhi pemandangan yang bertolak belakang. Pencitraan seremonial digeber, sementara implementasi lapangan justru seperti formalitas yang hanya dibuka dari lemari saat inspeksi berlangsung atau ketika media mulai bersuara.

Tak heran jika publik bertanya-tanya, apakah penghargaan itu benar-benar lahir dari kualitas?, ataukah sekadar “prestise instan” yang dipoles dengan jaringan, modal, dan kepiawaian memainkan panggung seremoni?

Informasi manis yang digembor-gemborkan terasa seperti konsumsi wajib masyarakat, enak dibaca, tetapi pahit ketika dibandingkan dengan kenyataan.

Sementara itu, para pekerja terus bertaruh nyawa, bukan karena mereka menolak standar keselamatan, tetapi karena standar itu sendiri kerap diperlakukan sebagai pelengkap administrasi, bukan kebutuhan mendasar.

Penghargaan boleh diserahkan langsung oleh Menteri, panggung boleh megah, sambutan boleh panjang, namun selama helm keselamatan masih kalah penting dibanding kejar target, selama rompi hanya dipakai ketika pejabat datang, dan selama K3 hidup hanya di baliho, laporan resmi, serta seremoni tahunan, maka semua euforia itu tidak lebih dari dekorasi, hiasan yang menutupi komitmen yang rapuh.

Prestasi sejati bukan lahir dari panggung, tapi dari konsistensi, kesadaran, dan penerapan nyata, Bojonegoro tidak butuh seremoni. Bojonegoro butuh budaya keselamatan yang benar-benar diterapkan, bukan diucapkan.

Red... 

Sebelumnya

item