Nilai A di Atas Kertas, Tapi Transparansi di Lapangan Masih Gelap, Ironi KIP Bojonegoro
Opini Edukasi.
![]() |
| Foto ilusutrasi Sertifikat Piagam Prestasi KIP |
Bojonegoro, Polemikdaerah.online, - Dikabarkan melalui sejumlah portal media lokal, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, disebut meraih prestasi membanggakan dalam bidang komunikasi publik.
Nilai Keterbukaan Informasi Publik (KIP) kabarnya melompat dari C menjadi A—sebuah lonjakan yang terdengar spektakuler. Setidaknya di atas panggung.
Pujian ini disampaikan langsung oleh Direktur Informasi Publik Dirjen Komunikasi Publik dan Media Kementerian Komunikasi dan Digital, Nur Sodiq Gunaryo, dalam diskusi panel Keterbukaan Informasi dan penyusunan rencana kerja PPID di ruang Angling Dharma, Gedung Pemkab Bojonegoro, Sabtu (29/11/2025).
Dalam paparannya, Nur Sodiq mengurai tiga penyakit lama KIP di Indonesia, informasi yang masih reaktif, layanan yang lamban, serta ketidakjelasan status informasi. Ia menyerukan perubahan paradigma total dari pola pikir lama “informasi itu tertutup, kecuali yang dibuka” menjadi pola baru yang diwajibkan undang-undang: “semua informasi publik itu terbuka, kecuali yang dikecualikan.”
Ia menegaskan, KIP bukan tujuan akhir, melainkan alat untuk membangun akuntabilitas dan kepercayaan publik. “Bojonegoro harus mampu mempertahankan nilai A sebagai bukti transparansi berkelanjutan,” tegasnya.
Namun begitu kaki menapak ke lapangan, kenyataannya jauh dari semanis pidato. Praktik lama, proyek tanpa papan informas, masih terus terjadi. Lebih ironis, papan proyek baru muncul setelah kritik publik menyeruak. Bukan karena kesadaran transparansi, tetapi karena sorotan yang memaksa.
Padahal, papan informasi proyek yang memuat sumber anggaran, nilai kontrak, pelaksana, hingga durasi pekerjaan adalah standar paling dasar dari keterbukaan publik. Jika hal sesederhana ini masih diabaikan, apa arti nilai A itu? Apakah prestasi itu benar-benar cermin kinerja, atau sekadar angka yang dipoles demi laporan?
Ironi makin kental ketika ucapan pejabat kerap terdengar lebih manis daripada kondisi nyata. Sebagian media lokal pun terlihat nyaman menjadi corong seremoni, menulis ulang pernyataan pejabat tanpa verifikasi, tanpa investigasi, dan tanpa keberanian mengangkat fakta yang pahit. Berita berubah menjadi brosur, bukan kontrol sosial.
Jika Bojonegoro ingin transparansi yang sejati, nilai A harus dibuktikan di lapangan, bukan hanya di podium dan lembar sertifikat. Sebab transparansi bukan soal penghargaan, tetapi soal kejujuran.
Di sinilah titik paling menentukan, integritas dan ideologi pewarta. Jurnalis seharusnya menyajikan fakta di balik data, bukan sekadar menyebarkan pernyataan yang belum teruji. Ketika pewarta memilih menjadi pengikut narasi resmi ketimbang pengungkap realitas, ia bukan lagi “ratu dunia”, melainkan berpotensi menjadi racun dunia, mengaburkan kebenaran, merusak kepercayaan publik, dan menumpulkan fungsi demokrasi.
Red...
%20(1).jpg)