27 Miliar untuk Provinsi, Sementara Bojonegoro Masih Berjuang Memenuhi Kebutuhan Dasar
Opini Edukasi.
Bojonegoro, Polemikdaerah.online, - Belanja anggaran Kabupaten Bojonegoro kembali menjadi sorotan publik. Pada dokumen resmi keuangan daerah, tercatat pos Belanja Bantuan Keuangan Khusus Daerah Kabupaten/Kota ke Provinsi sebesar Rp27 miliar melalui Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD).
Nominal sebesar itu seketika memancing tanda tanya besar. Di saat masyarakat masih berjuang memenuhi kebutuhan pokok, infrastruktur penunjang ekonomi belum merata, irigasi pertanian masih banyak bermasalah, dan pemberdayaan SDM yang belum optimal, justru Pemkab Bojonegoro mengalirkan bantuan ke tingkat provinsi.
Publik pun mempertanyakan, apa urgensi memberikan bantuan sebesar itu, sementara kebutuhan internal belum terpenuhi?
Istilah “Reko Joyo” (kaya pura-pura) kembali terdengar. Di masyarakat berkembang anggapan bahwa Bojonegoro tampil seolah-olah sebagai daerah makmur, tetapi pada kenyataannya masih banyak persoalan mendasar yang menunggu perhatian nyata.
Benarkah Ini Investasi, Penyertaan Modal, atau Ada Motif Lain?, ketika bantuan keuangan daerah mencapai puluhan miliar, wajar jika publik menuntut transparansi.
Jika bantuan ini disebut investasi, maka di mana kajian kelayakannya? Jika disebut penyertaan modal, unit usaha mana yang menerima dan bagaimana mekanisme pengawasannya?
Ketidakjelasan informasi membuka ruang spekulasi. Sebagian kalangan bahkan menghubungkannya dengan MoU antara Pemkab Bojonegoro dan Kejaksaan Negeri Surabaya yang sebelumnya dikemas dalam istilah Restorative Justice. Publik bertanya-tanya, apakah aliran anggaran ini memiliki kaitan dengan kesepakatan tersebut atau hanya kebetulan belaka.
Minimnya penjelasan resmi justru membuat ruang tafsir melebar tak terkendali.
Di tengah kontroversi anggaran ini, sorotan publik juga tertuju pada Kepala BPKAD, Nur Sukjito. Sejak menjabat di berbagai posisi sebelumnya hingga kini, banyak pewarta dan pemerhati kebijakan menilai bahwa akses informasi dari BPKAD kerap menemui jalan buntu.
Konfirmasi sulit didapatkan, keterbukaan informasi minim, dan sikap birokrasi terasa tertutup. Tidak sedikit aktivis informasi publik yang menyampaikan kritik pedas:
“Pejabat publik seharusnya melayani kebutuhan informasi masyarakat, bukan bertindak seolah-olah sedang mengelola uang warisan nenek moyangnya”
Dalam konteks pengelolaan keuangan negara, sikap tertutup seperti ini menjadi masalah serius. Transparansi adalah kunci, apalagi ketika anggaran yang dikelola mencapai triliunan rupiah setiap tahun.
Kritik juga mengarah kepada unsur pengawasan pemerintah, APH, APIP, hingga Kejaksaan bidang Datun. Mereka memiliki peran strategis dalam mengawal akuntabilitas dan tata kelola keuangan daerah. Namun dalam situasi ini, publik mempertanyakan mengapa tidak ada respons yang terlihat signifikan.
Ketika informasi publik macet, ketika kebijakan besar tidak disertai penjelasan memadai, dan ketika transparansi melemah, maka tugas pengawasan seharusnya bergerak cepat.
Diamnya sistem pengawasan berpotensi melonggarkan akuntabilitas, Bojonegoro Butuh Keterbukaan, Bukan Klaim Kemewahan
Masalah utama dalam polemik Rp27 miliar ini bukan hanya nominalnya, tetapi cara pemerintah mengelola komunikasi publik. Kurangnya penjelasan, minimnya keterbukaan, dan lambatnya respon pejabat terkait semakin memperlebar jarak antara pemerintah dan masyarakat.
Bojonegoro tidak memerlukan pencitraan sebagai daerah kaya. Yang dibutuhkan adalah keterbukaan, efisiensi, prioritas yang tepat, dan keberanian menjelaskan secara gamblang kepada publik.
Selama informasi disembunyikan di balik tirai birokrasi, selama komunikasi publik mandek, dan selama pertanyaan masyarakat tidak dijawab dengan data yang jernih, maka kecurigaan akan terus berkembang.
Red...
.png)