Tuban Darurat Tambang Ilegal: Aparat dan Instansi Diduga Terlibat, Perda Seolah Mati Suri


Tuban, Polemikdaerah.online, — Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam di Kabupaten Tuban kian hari kian liar. Hampir di setiap sudut wilayah, aktivitas penambangan terus menjamur. Namun, ironisnya, mayoritas kegiatan tersebut berjalan tanpa komitmen terhadap hak dan kewajiban pelaku usaha, termasuk aspek legalitas dan tanggung jawab sosial-lingkungan.

Lebih miris lagi, pembiaran sistematis justru datang dari lembaga yang seharusnya menjadi garda pengawasan dan penegakan hukum. Pemerintah Daerah, melalui Peraturan Daerah (Perda) yang seharusnya menjadi dasar hukum pengelolaan pertambangan, justru terkesan mandul. Aparat penegak hukum (APH) yang memiliki wewenang untuk menindak pelanggaran, malah diduga kuat ikut bermain dalam pusaran tambang ilegal.

Salah satu kasus mencolok adalah aktivitas pertambangan batu ketak dan limestone (pedel) di Desa Wangun, Kecamatan Palang, yang dalam sepekan terakhir menjadi sorotan media. Tambang tersebut diduga tak memiliki izin resmi, tidak membayar pajak dan retribusi, serta tidak menjamin keselamatan maupun perlindungan tenaga kerja. Lebih mengkhawatirkan lagi, pelaku tambang justru disinyalir adalah oknum aparat yang masih aktif.

Koh Ahsin (inisial), seorang pegiat informasi lokal, mengungkapkan kekecewaannya terhadap pembiaran oleh instansi pemerintah dan aparat terkait. “Bagaimana bisa aktivitas yang begitu terang-terangan, tapi tidak ada tindakan? Tidak ada plang nama pelaku usaha, tidak ada nomor induk berusaha, tidak ada klasifikasi legal. Ini jelas-jelas melanggar aturan,” ujarnya.

Ia juga mengingatkan bahwa sesuai dengan Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945, sumber daya alam harus dikelola negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun pada kenyataannya, keuntungan hanya mengalir kepada segelintir orang yang memiliki kuasa dan pengaruh.

“Dinas terkait, Satpol PP, bahkan Kepolisian seolah tak bergeming. Ini aneh. Jika mereka tidak mengambil tindakan, patut diduga justru ikut serta dalam praktik yang disebut trading influence, memperdagangkan pengaruh kekuasaan demi keuntungan pribadi,” tegas Koh Ahsin.

Lebih jauh, ia menyebut kondisi ini sebagai bentuk nyata dari state capture atau penangkapan negara oleh kepentingan-kepentingan tertentu, di mana hukum hanya berlaku bagi yang tak berkuasa, sementara pengusaha tambang yang dilindungi kekuasaan bisa bebas merusak tanpa takut sanksi.

Masih menurt Koh Ahsin, ketiadaan transparansi, pengabaian regulasi, dan dugaan keterlibatan institusi penegak hukum dalam aktivitas ilegal ini mengindikasikan krisis tata kelola sektor pertambangan di Tuban. Jika hal ini terus dibiarkan, maka kehancuran ekologis dan sosial hanya tinggal menunggu waktu.

"Pemerintah Kabupaten Tuban dan seluruh lembaga pengawasan ditantang untuk membuktikan bahwa hukum masih memiliki taring. Tanpa tindakan tegas dan transparan, publik akan terus mencurigai bahwa Perda hanyalah dokumen formalitas, dan hukum sekadar alat tawar-menawar para elite" Pungkasnya. 

Red.. 

Sebelumnya

item