Kegelisahan Kontraktor Lokal: Tender Murah, Proyek Muram – Manipulasi Anggaran Mengancam Mutu Pembangunan Bojonegoro
Bojonegoro, Polemikdaerah.online – Di balik gencarnya pembangunan infrastruktur yang digaungkan Pemerintah Kabupaten Bojonegoro, muncul suara-suara kegelisahan dari lapangan. Sejumlah kontraktor lokal mulai angkat bicara mengenai praktik tender yang dinilai tak lagi sehat: harga ditekan serendah mungkin, kualitas dikesampingkan, dan integritas tersandera permainan anggaran yang kian manipulatif.
Alih-alih menjadi ruang kompetisi profesional yang adil, proses tender kini dinilai telah berubah menjadi ajang siasat. Sejumlah proyek strategis dari pembangunan jalan, irigasi, jembatan, hingga gedung sekolah dimenangkan oleh penyedia jasa yang menawar turun hingga 20–30 persen di bawah Harga Perkiraan Sendiri (HPS). Di atas kertas, ini disebut efisiensi. Namun di lapangan, justru menyimpan potensi bencana konstruksi.
"Menang tender sekarang bukan soal kapabilitas teknis, tapi karena berani pasang harga rendah dan siap setor pengamanan di belakang," ungkap seorang kontraktor lokal yang enggan disebut namanya.
Contoh konkret terlihat dalam proyek rehab puskesmas yang terpantau melalui situs LPSE Bojonegoro. Dari pagu anggaran Rp976 juta, penawaran calon pemenang turun tajam hingga kisaran Rp780 juta. Di lapangan, nilai serendah itu sering diakali dengan pengurangan volume pekerjaan, penggunaan material di bawah standar, atau percepatan pekerjaan tanpa pengawasan mutu yang memadai.
Yang ironis, meski mutu pekerjaan patut dipertanyakan, mayoritas proyek tetap dinyatakan selesai 100 persen. Laporan pengawasan dan audit kerap hanya bersifat administratif sekadar memastikan kelengkapan dokumen, bukan membuktikan kualitas fisik hasil pekerjaan. Akibatnya, banyak infrastruktur rusak sebelum genap satu tahun digunakan. Jalan berlubang, bangunan retak, dan drainase yang gagal berfungsi menjadi pemandangan akrab di sejumlah titik.
"Kalau dari Rp976 juta langsung dipotong jadi Rp780 juta, itu sudah lampu merah. Tidak ada kontraktor yang mau rugi. Mereka pasti nantinya akan main di mutu atau volume," tegas seorang pengamat kebijakan publik lokal.
Keresahan semakin dalam karena praktik bagi-bagi proyek diduga turut melibatkan oknum dinas teknis, pengawas, bahkan aparat penegak hukum. Dalam laporan internal disebutkan bahwa biaya pengamanan sudah dialokasikan sejak sebelum proyek berjalan. Artinya, sebagian anggaran publik dialihkan untuk membungkam potensi pengawasan dan memperlancar pencairan, lanjutnya.
Masih menurut praktisi, kondisi tersebut tentunya sangat jelas bertolak belakang dengan semangat antikorupsi yang digagas melalui Surat Edaran Bupati Bojonegoro Nomor 1242 Tahun 2025 tentang Pencegahan Tindak Pidana Korupsi. Surat edaran tersebut merupakan tindak lanjut atas imbauan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyoroti tingginya risiko korupsi dalam sektor pengadaan barang/jasa. Isinya tegas: seluruh kepala perangkat daerah dan camat wajib menghindari praktik suap, gratifikasi, dan benturan kepentingan dalam proses tender maupun penunjukan langsung.
Namun, tanpa pengawasan independen, penegakan edaran itu hanya akan berakhir sebagai dokumen formal yang tak menyentuh akar masalah. Sebab saat ini, pembangunan di Bojonegoro rentan menjadi sekadar simbolisasi seremonial: tampak megah di atas kertas, tetapi rapuh dalam kenyataan.
"Jika praktik ini dibiarkan, maka masyarakat akan menjadi korban ganda, terampas hak atas anggaran dan dikecewakan oleh hasil pembangunan. Infrastruktur publik seharusnya menjadi wujud peningkatan kesejahteraan rakyat, bukan panggung permainan anggaran dan pencitraan elite kekuasaan" Pungkasnya