Pokir Bojonegoro: “Aspirasi Rakyat” atau Ladang Bancakan Proyek?
Bojonegoro — Pokok-Pokok Pikiran (Pokir) anggota DPRD sejatinya digadang-gadang sebagai instrumen menyambungkan suara rakyat ke meja kebijakan daerah. Namun di balik slogan ‘jembatan aspirasi’ itu, warga Bojonegoro mulai bertanya: betulkah Pokir benar-benar membawa kepentingan rakyat, atau sekadar jadi pintu masuk permainan proyek titipan?
Sesuai regulasi, Pokir muncul dari hasil reses dewan: anggota DPRD menampung usulan warga, lalu diserahkan ke bupati, dibahas dalam Musrenbang, dan akhirnya disahkan di APBD, idealnya, semua berjalan sinkron dengan perencanaan Organisasi Perangkat Daerah (OPD).
Faktanya? Beberapa sumber di internal Pemkab membocorkan, pola Pokir kerap memotong jalur program prioritas, bahkan, program strategis berbasis kajian teknis sering disisihkan hanya demi mengakomodasi Pokir.
"Sudah jadi rahasia umum, kalau Pokir masuk, OPD sering tidak bisa menolak. Akhirnya program yang sudah diusulkan masyarakat lewat Musrenbang jadi tersingkir,” ujar salah satu pegawai di Dinas Bojonegoro, yang enggan disebutkan namanya.
Dari sinilah celah rawan terbuka. Pokir, yang seharusnya jadi jalur formal, justru sering disusupi kepentingan balas budi politik, beberapa kontraktor lokal mengakui, siapa yang dekat dengan oknum anggota dewan, peluangnya lebih besar untuk memegang paket pekerjaan.
"Kalau mau dapat proyek Pokir, ya harus ‘dekat’. Ada yang diminta setor fee dulu, ada yang setor setelah pencairan. Kalau enggak mau ya minggir,” ungkap seorang pelaku usaha konstruksi di Bojonegoro.
Bahkan, beredar istilah jalur tol aspirasi di kalangan kontraktor, warga hanya tahu proyek itu adalah suara rakyat, padahal di belakangnya sudah ada jatah-jatah tidak resmi.
Imbasnya bisa dilihat di lapangan, saluran irigasi yang belum setahun sudah retak, jalan paving desa amblas, renovasi bangunan sekolah sekadarnya, ketika rusak? Kontraktor tunjuk OPD, OPD tunjuk DPRD. Jalan keluar? Tidak jelas.
"Pernah paving desa kami baru setahun sudah hancur. Mau komplain ke siapa? Semua saling lempar,” kata Wibowo, aktivis pemantau anggaran publik.
Masih menurut Wibowo, Ironisnya, detail siapa pengusul Pokir, siapa pemenang tender, berapa nilai pagu, nyaris tak pernah diumumkan terbuka, padahal BPK RI sudah lama memberi catatan, Pokir berpotensi jadi jalur mark-up anggaran, KPK pun beberapa kali mewanti-wanti daerah agar Pokir tidak jadi jalur kotor kongkalikong proyek.
Celah ini masih menjadi rahasia umum, tak sedikit OPD merasa tertekan: di satu sisi punya kajian strategis, di sisi lain harus tunduk pada titipan aspirasi.
Tak kalah pelik, desa pun jadi korban, perangkat desa sudah susah payah merumuskan RPJMDes sesuai potensi dan kebutuhan, namun, tiba-tiba muncul proyek titipan Pokir tanpa sinkronisasi data, hasilnya, program desa dan kabupaten sering tumpang tindih, rakyat yang dirugikan.
Pokir bukan barang haram, asalkan benar-benar berpijak pada aspirasi warga, mekanisme transparansi dan pengawasan, pengusulan, siapa saja penerima, dan berapa nilai, dan bagaimana kualitas pekerjaan harus dibuka ke publik.
Pemerintah daerah dituntut tegas, program prioritas strategis jangan kalah dengan aspirasi titipan yang hanya menguntungkan segelintir orang, penegakan hukum wajib bertindak jika ada indikasi fee gelap, mark-up, atau kongkalikong, peran masyarakat harus mau mengawasi, karena APBD bukan ATM elite politik, melainkan uang rakyat.
"Kalau pola ini dibiarkan, Pokir hanya akan jadi tameng politik menjelang pemilu. Proyek amburadul, kerugian negara membengkak. Rakyat lagi-lagi hanya jadi penonton,” pungkas Wibowo.
Red...