Penambangan Pasir Ilegal Mojosari Kian Beringas, Alam Rusak; Penegakan Hukum Mandek?

Bojonegoro, Polemikdaerah.online, - Deru mesin diesel di tepian Sungai Bengawan Solo, Desa Mojosari, Kecamatan Kalitidu, Kabupaten Bojonegoro, terus bergaung saban hari. Di balik suara bising itu, alam dipaksa bertekuk lutut. Pasir sungai yang mestinya jadi penahan derasnya arus justru dihisap habis, meninggalkan kerusakan yang menganga.

Hasil penelusuran di lapangan, para pengusaha tambang pasir sungai di Mojosari menjalankan aktivitas tanpa izin resmi alias ilegal. Alat sedot mekanik disulap sedemikian rupa agar mampu mengeruk pasir dari dasar sungai. Sementara itu, pengawasan dari pihak berwenang nyaris tak terdengar. Warga setempat pun hanya bisa pasrah menanti longsor dan abrasi yang sewaktu-waktu mengancam.

"Tambang pasir di sini tergolong ramai, kualitas pasirnya bagus. Banyak sopir yang antre,” ungkap Roni, salah satu sopir pengangkut pasir, kepada pewarta. .

Pernyataan itu menegaskan bahwa praktik penambangan ini berjalan terorganisir, didukung rantai distribusi yang lancar. Dugaan pun muncul: kenapa tambang ilegal bisa tetap beroperasi secara terang-terangan? Apakah Satpol PP benar-benar turun tangan menegakkan Peraturan Daerah, atau justru terkesan “menikmati” setoran di balik meja?

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) sebenarnya mengatur tegas soal tambang ilegal. Pasal 158 menyebut, setiap orang yang melakukan penambangan tanpa izin dapat dipidana penjara paling lama 10 tahun dan denda hingga Rp10 miliar. Sayangnya, di Mojosari, pasal ini bagai macan kertas.

Berlarutnya praktik ilegal ini memunculkan opini liar di masyarakat bahwa ada pembiaran terstruktur. Tak sedikit warga menduga, ada oknum aparat atau pihak tertentu yang diuntungkan dari setoran hasil tambang. Isu ini makin ramai diperbincangkan di warung kopi dan group WhatsApp warga, namun tak kunjung ada tindakan nyata di lapangan.

Penambangan pasir berlebihan di aliran Bengawan Solo tak sekadar merusak ekosistem sungai. Potensi abrasi, penurunan kualitas air, rusaknya habitat biota air, hingga terancamnya lahan pertanian warga menjadi risiko nyata. Jika terus dibiarkan, kerusakan bisa meluas ke wilayah permukiman. Ironisnya, keuntungan hanya dinikmati segelintir orang.

Hingga berita ini diturunkan, pemilik tambang sedotan pasir di bantaran Bengawan Solo belum memberikan klarifikasi meski sudah dihubungi berulang kali. Sementara itu, Satpol PP dan Aparat Penegak Hukum (APH) didesak tak lagi sekadar menebar wacana. Publik menuntut tindakan: penutupan tambang ilegal, penindakan pemilik dan cukong di baliknya, hingga pemulihan ekosistem sungai.

Jika penegakan hukum tetap mandek, keraguan masyarakat akan berubah menjadi ketidakpercayaan total. Apakah hukum hanya tegas pada rakyat kecil, tapi tumpul pada penambang ‘kebal’? Pertanyaan ini masih menunggu jawaban nyata di lapangan.

Red.... 

Sebelumnya

item