H-1 Tes Perades Kadungrejo, Dugaan Kecurangan Diselimuti Rapat, Rakyat Jadi Penonton
Alih-alih menenangkan publik, panitia pengisian Perades justru sengaja menutupi identitas perguruan tinggi yang ditunjuk sebagai pihak ketiga pendamping tes, dengan alasannya klasik untuk nenghindari lobi-lobi, padahal publik justru berhak tahu siapa yang terlibat, agar peluang main mata bisa ditekan.
Faktanya, hingga H-1 tes, tidak ada penjelasan terbuka dari Pemdes, panitia, camat, maupun Dinas PMD.
Dikabarkan sebelumnya, Camat Baureno berdalih tidak tahu-menahu, berbanding terbalik dengan pernyataan Kepala Dinas PMD, yang malah mengklaim bahwa camat seharusnya memantau setiap tahap, termasuk penunjukan pihak ketiga.
Pertanyaan besar pun muncul, siapa yang sebenarnya mengendalikan proses ini, sistem CAT modernisasi Palsu Jika Tanpa Transparansi.
Klaim panitia bahwa ujian memakai Computer Assisted Test (CAT) demi keadilan justru makin dipertanyakan, peserta tes hingga kini tidak mendapat penjelasan detail, apakah CAT ini berbasis online atau offline..? siapa operatornya..? siapa yang bisa mengakses data soal dan jawaban..? apakah ada rekaman jejak digital (log activity) yang bisa diaudit publik..?
Tanpa penjelasan substansial, aplikasi CAT justru rawan jadi alat manipulasi canggih.
“Teknologi tidak menjamin keadilan kalau hanya segelintir orang yang pegang kendali. Kalau mau adil, buka semua alurnya,” geram salah satu warga Kadungrejo.
Ritual Formalitas, Kursi Jabatan Jadi Komoditas para elite lokal, publik menilai pengisian perangkat desa di Kadungrejo hanyalah ritual formalitas untuk melegalkan kursi pesanan, rahasia pihak ketiga, operator aplikasi yang tidak transparan, dan ketiadaan audit independen, makin menegaskan aroma jual beli jabatan.
Yang lebih memprihatinkan, elite lokal seolah bersepakat, Pemdes bungkam, panitia pasif, camat normatif, Dinas PMD cuci tangan, sementara rakyat hanya jadi saksi sandiwara.
“Sejarah sudah mencatat, permainan semacam ini bukan hal baru. Bedanya sekarang dibungkus teknologi. Label CAT hanya kamuflase,” ungkap tokoh pemuda setempat.
Menjelang tes, suara warga Kadungrejo semakin tegas, identitas universitas pendamping harus diumumkan secara resmi, sistem CAT wajib dijelaskan secara terbuka basis data, koneksi server, hingga siapa yang berwenang mengaksesnya, hasil tes wajib dicetak di tempat, disaksikan publik, dan tidak boleh direvisi diam-diam.
Jika tuntutan publik diabaikan, warga menilai kegaduhan serupa akan terus berulang.
“Kalau hanya jadi dagangan elite, lebih baik tidak ada tes sekalian, keadilan tidak bisa ditukar uang, rakyat sudah cukup jadi penonton kebusukan,” kata salah satu warga dengan nada geram.
Permasalahan ini seharusnya jadi tamparan, ketika perangkat desa diisi lewat praktik transaksional, maka demokrasi hanyalah ilusi, jika aparat di desa lahir dari kebohongan, maka kebohongan akan mengakar ke mana-mana.
Red...