Jurnalisme Terjebak Seremonial, Wartawan Harus Berani Bertanya Data, Tidak Hanya Mencatat Seremoni
Opini Edukasi.
Jawa Timur, Polemikdaerah.online, - Di banyak ruang rapat pemerintahan, setiap kali acara dimulai, pemandangan yang sama berulang, backdrop berwarna cerah bertuliskan nama program, meja berjajar rapi, dan deretan wartawan yang menunggu sesi sambutan.
Tak sedikit dari Mereka hanya mencatat, memotret, lalu menayangkan berita dengan judul manis “Bupati Resmikan Program Unggulan”, “Desa Siap Wujudkan Inovasi Digital”, atau “Pemerintah Dorong Kemandirian Masyarakat”.
Tapi di balik keindahan kalimat itu, jarang ada yang bertanya lebih jauh, apa isi program tersebut? Berapa dananya? Siapa pelaksananya? Sejauh mana manfaatnya benar-benar dirasakan masyarakat?
Fenomena ini bukan sekadar kebiasaan malas menggali, melainkan gejala matinya jurnalisme data di tengah dominasi seremoni.
Wartawan seolah menjadi bagian dari sistem yang memproduksi citra, bukan pencari kebenaran, padahal, fungsi utama jurnalis bukan menjadi pengeras suara pemerintah, tetapi penyeimbang antara data resmi dan kenyataan di lapangan.
Namun, banyak media lokal kini terjebak dalam pola kerja yang seragam, menulis dari undangan, bukan dari temuan.
Berita birokrasi seolah cukup berhenti pada apa yang dikatakan pejabat, bukan pada apa yang perlu diuji, dalam berita-berita seperti itu, wartawan kehilangan daya gigit, mereka tak lagi memegang kendali narasi, tapi hanya memantulkan suara dari ruang kekuasaan.
Padahal, setiap data publik menyimpan cerita, di balik angka-angka APBD dan APBDes, laporan kegiatan, atau istilah proyek seperti Padat Karya Tunai Desa, selalu ada realitas yang bisa berbeda jauh dari kertas laporan, namun tanpa keberanian menelusuri dokumen, mewawancarai pelaksana lapangan, dan mengonfirmasi warga penerima manfaat, semua itu hanya akan menjadi ritual pengulangan seremonial.
Mungkin itu tidak dianggap suatu masalah, sebagian wartawan kini memperlakukan data bukan sebagai bahan analisis, tapi sebagai dekorasi berita, data hanya muncul di alinea kedua untuk memberi kesan faktual, tanpa pernah benar-benar diolah menjadi bahan kritik.
Contoh sederhana, ketika pemerintah desa mengklaim telah menggelontorkan Rp30 juta untuk pembangunan gorong-gorong, wartawan berhenti pada angka itu. Tidak ada yang menelusuri berapa dana yang benar-benar diterima pemborong, atau mengapa hasilnya sudah rusak sebelum dua bulan, padahal di situlah inti jurnalisme menemukan celah antara angka dan realitas.
Kenyataan ini menandakan bahwa sebagian media telah kehilangan keberpihakan terhadap publik, mereka lupa, berita bukanlah sekadar apa yang terjadi, tapi apa yang penting untuk diketahui masyarakat.
Jurnalis dengan nyali tidak takut kehilangan akses karena bertanya keras. Mereka paham bahwa tanggung jawab moralnya bukan kepada pejabat yang memberi undangan, melainkan kepada masyarakat yang membayar pajak.
Menulis berita kritis memang tidak selalu nyaman, akan ada tekanan, ancaman, bahkan pencitraan buruk. Namun di situlah letak kehormatan profesi ini, menulis bukan untuk disukai, tapi untuk menyadarkan.
Jurnalisme yang hanya menunggu rilis adalah jurnalisme yang kehilangan ruh, sedangkan jurnalisme yang berani mengorek laporan keuangan desa, membandingkan data Apbd dan PBDes dengan proyek di lapangan, dan menelusuri selisih anggaran hingga ke nama-nama pelaku, itulah jurnalisme yang menjalankan fungsi konstitusionalnya.
Wartawan sejati tidak berhenti pada fakta di permukaan, mereka membaca laporan keuangan, mencermati nomenklatur program, menelusuri siapa pemborongnya, bahkan menanyai warga yang seharusnya menikmati manfaat program tersebut. Dari sana lahir berita yang menyeimbangkan antara data dan realita.
Karena faktanya, banyak “program pembangunan” di birokrasi hanya tampak besar dalam angka, tapi kecil dalam hasil, banyak “kegiatan pemberdayaan” hanya menjadi judul laporan tanpa jejak di lapangan. Jika jurnalis tidak menelisik, maka kebohongan administratif akan terus hidup dengan aman di bawah banner program dan baliho pencitraan.
Ada dua jenis wartawan di negeri ini, mereka yang menulis agar pejabat senang dan mereka yang menulis agar masyarakat mengerti, kategiri yang pertama sibuk mencari koneksi, yang kedua sibuk mencari kebenaran.
Ketika banyak media lokal bergeser ke kelompok pertama, publik kehilangan panduan informasi yang bisa dipercaya, sebaliknya, jurnalis di kelompok kedua, meski jumlahnya sedikit, etap menjadi benteng terakhir akal sehat publik.
Mereka tidak menulis karena diundang, tapi karena terpanggil, mereka tidak takut kehilangan akses, karena yang mereka jaga bukan izin meliput, melainkan kepercayaan rakyat.
Jurnalisme yang berani menggali fakta di balik data adalah fondasi demokrasi, tanpa keberanian itu, media hanya menjadi panggung pencitraan birokrasi, sebab tugas wartawan bukan membuat kekuasaan merasa nyaman, tapi membuat publik lebih tahu apa yang selama ini disembunyikan di balik data.
Red...