Aroma Kepentingan di Balik Pembatalan 47 Tender Drainase Bojonegoro

Opini Edukasi

Bojonegoro, Polemikdaerah.online, - Pembatalan 47 paket tender proyek drainase senilai Rp45 miliar di Bojonegoro bukan sekadar perkara administratif. Di balik selembar surat bernomor 050/1851/412.205/2025 yang dikeluarkan Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Cipta Karya, tersimpan tanda tanya besar, apa sebenarnya yang tengah bergolak di dapur kebijakan daerah ini?

Ketika uang rakyat bernilai puluhan miliar mendadak terhenti di meja birokrasi, publik wajar curiga, apakah ini langkah penertiban sistem tender yang carut-marut, atau justru manuver politik anggaran untuk mengatur ulang aliran proyek sesuai kepentingan kelompok tertentu?

Dalih pemerataan kesempatan bagi kontraktor lokal memang terdengar manis di telinga. Namun sering kali, retorika manis justru menutupi getirnya realitas. Pembatalan mendadak terhadap puluhan tender bukan keputusan ringan, ia menandakan adanya gangguan serius dalam tata kelola anggaran publik, entah karena cacat prosedur, atau karena ada tangan tak terlihat yang tengah mengatur ulang peta proyek.

Di kalangan rekanan, desas-desus tentang paket terjual dan fee awal bukan lagi rumor murahan. Ia telah menjadi rahasia umum, beredar dari warung kopi hingga grup WhatsApp para kontraktor. Jika benar demikian, maka pembatalan ini bukanlah langkah pembenahan, melainkan tanda perang dingin antar kelompok kepentingan lama dan baru.

Beberapa sumber yang terlibat dalam program pembangunan infrastruktur daerah mengungkapkan, sebagian besar proyek yang dibatalkan merupakan hasil konsolidasi paket kecil, banyak di antaranya berasal dari pokok-pokok pikiran (pokir) anggota DPRD. Program-program itu dinilai tidak sejalan dengan visi dan misi pemerintahan baru, bahkan terkesan menguntungkan segelintir pihak. Dari sanalah muncul kebijakan yang akhirnya melahirkan surat pembatalan.

Kini, Bojonegoro berada di fase transisi kebijakan. Kepemimpinan daerah baru berupaya membedakan diri dari pola lama, namun jejak dan jaringan masa lalu belum sepenuhnya hilang. Karena itu, pembatalan tender ini dapat dibaca sebagai upaya reposisi kekuasaan, menggeser pemain lama yang dianggap terlalu dekat dengan rezim sebelumnya, sembari membuka ruang bagi kelompok baru untuk menancapkan pengaruh.

Namun di tengah perebutan posisi para elit, masyarakat tetap bergulat dengan masalah klasik, banjir, jalan rusak, dan infrastruktur yang tak kunjung beres. Ironisnya, proyek drainase yang seharusnya menjadi solusi justru terhenti di tengah pusaran tarik-menarik kepentingan.

Publik tidak peduli siapa yang menang tender. Mereka hanya ingin proyek berjalan, kualitas terjamin, dan uang rakyat digunakan sebagaimana mestinya. Tetapi ketika proyek publik berubah menjadi ladang transaksi politik, maka yang tergenang bukan lagi air hujan, melainkan moral para pejabat dan pemburu rente.

Pembatalan tender bisa saja menjadi langkah korektif, jika disertai transparansi dan audit terbuka. Namun jika tidak, kebijakan ini hanya akan menjadi panggung baru bagi drama lama, rotasi kepentingan di balik jargon pemerataan.

Red... 

Sebelumnya

item