Bojonegoro, Bumi yang Tak Pernah Letih Mencintai, Jiwa yang Tak Pernah Padam
Bojonegoro, - Pada masa ketika bumi masih muda, saat kabut menulis puisi di antara pepohonan, dan rimba berbisik dalam bahasa rahasia dedaunan, di sanalah matahari pernah berhenti sejenak untuk mencium embun di pucuk bambu.
Dari keheningan itulah, kelak lahirlah Bojonegoro, bukan dari perang, bukan dari ambisi, melainkan dari cinta manusia kepada tanah yang memberinya kehidupan.
Dahulu, tempat ini hanyalah alas yang luas dan lebat, macan kumbang menatap dengan mata penuh rahasia, kijang berlari di bawah cahaya pagi, dan angin membawa nyanyian roh-roh penjaga bumi.
Bengawan yang agung mengalir pelan di tengahnya, urat nadi yang menghubungkan langit dan tanah, membawa doa para leluhur menuju samudra, lalu datanglah seorang lelaki dari timur, Adipati Malowopati, seorang bangsawan berhati bening seperti air Bengawan, ia menancapkan tongkatnya di tanah yang masih basah oleh embun pagi, dan dengan suara lembut namun tegas ia berucap :
"Di sinilah aku menanam negeri, tempat air dan tanah bersetia, tempat manusia dan alam bersaudara.”
Dari tangan para pengikutnya, hutan dibuka, tanah dibajak, dan dari abu pepohonan lahirlah kehidupan baru, orang-orang menamainya Bojonegoro dari bojo, lambang kesetiaan; dan negoro, tanda kemakmuran, sebuah nama yang lahir dari kasih dan pengabdian, tanah yang setia, seperti istri yang menjaga rumah tangganya walau badai datang bertubi-tubi.
Ada pula yang berkata, Bojonegoro berasal dari Bojong Negoro, dataran di tepi Bengawan, tempat air dan tanah berpadu dalam pelukan abadi, namun dari mana pun asalnya, maknanya satu, tanah ini hidup karena kerja, doa, dan kesetiaan manusia kepada alamnya.
Waktu berjalan seperti arus Bengawan, tenang di permukaan, namun kuat di dasarnya, dari dusun-dusun kecil, Bojonegoro tumbuh menjadi kadipaten yang ramai, sawah menari di bawah mentari, lumbung-lumbung penuh padi, dan hutan jati menjulang bagai tiang langit yang menyangga harapan.
Lalu datanglah masa kelam, asap perang menutup langit Jawa, pasukan Trunojoyo dan prajurit Mataram bertempur di bawah kabut darah, hutan kembali sunyi, sawah menjadi abu, dan Bengawan mengalirkan kesedihan yang panjang, namun Bojonegoro tidak tunduk, rakyatnya bangkit dari luka, mereka menanam lagi, membangun lagi, dan dari tanah yang sama mereka memintal harapan baru.
Sejak saat itu, Bojonegoro dikenal sebagai tanah yang tak pernah menyerah, tanah yang selalu menemukan cahaya di ujung gelap, kini berabad-abad telah berlalu, hutan jati berganti ladang minyak, Bengawan menjadi saksi mesin-mesin yang meraung di malam hari, namun Bojonegoro tetaplah Bojonegoro, ia mungkin berubah rupa, tetapi jiwanya tak pernah pudar, jiwa yang lahir dari rimba, dari sungai, dan dari cinta manusia kepada bumi yang menumbuhkannya.
Dan kini, di tahun 2025, ketika Bojonegoro menapaki usia ke-348, anak cucu dari tanah yang sama berdiri dengan hati penuh syukur, menjaga warisan para leluhur, warisan tentang kesetiaan, kerja keras, dan cinta yang tak pernah letih.
Selamat Hari Jadi Bojonegoro ke-348.
Bumi yang tak pernah letih mencintai, jiwa yang tak pernah padam.
Red...