Efesiensiensi atau Krisis, Bojonegoro di Tengah Arah Baru Kebijakan Fiskal Nasional

Opini Edukasi.


Bojonegoro, Polemikdaerah.online, - Di tengah perubahan besar arah kebijakan fiskal nasional, Bojonegoro menghadapi kenyataan pahit, kemewahan fiskal dari Dana Bagi Hasil (DBH) Migas perlahan memudar. Pemangkasan dana transfer tahun 2026 mencapai Rp1,67 triliun bukan sekadar revisi angka, melainkan guncangan struktural bagi APBD yang selama ini terlalu nyaman hidup dalam ketergantungan pusat.

Selama bertahun-tahun, Bojonegoro hidup dalam euforia “daerah penghasil migas.” Infrastruktur tumbuh cepat, proyek besar bergulir, dan birokrasi terbiasa dengan napas anggaran longgar, namun, ketika pemerintah pusat menggeser arah kebijakan menuju efisiensi dan rasionalisasi transfer, kapal besar itu mendadak kehilangan angin.

Kenyataan fiskal baru ini menampar kesadaran lama, selama ini Bojonegoro bukan makmur karena produktivitas, tapi karena ketergantungan pada transfer pusat.

Kebijakan efisiensi yang diatur lewat Peraturan Presiden tentang Pengendalian Belanja dan Optimalisasi Transfer ke Daerah membawa dua sisi, di satu sisi, ia menuntut disiplin dan tanggung jawab fiskal. Tapi di sisi lain, ia menelanjangi birokrasi yang lemah perencanaan, gemuk di anggaran, dan miskin inovasi pendapatan asli daerah (PAD).

Banyak program yang dulu disebut “strategis” kini terbukti hanya kemasan pemborosan, seremonial, studi banding, dan proyek asal jalan yang hanya menggerakkan anggaran, bukan ekonomi rakyat. Ketika dana mulai seret, bukan publik yang pertama panik, melainkan pejabat yang kehilangan ladang kegiatan “strategis”.

RPJMD 2025–2029 yang baru disahkan melalui Perda Nomor 11 Tahun 2025 kini menjadi ujian sesungguhnya, apakah visi besar Bupati Setyo Wahono dan Wabup Nurul Azizah benar-benar berlandaskan pada kenyataan fiskal, atau hanya retorika politik yang kehilangan bahan bakar?

Tanpa reposisi perencanaan, target besar hanya akan menjadi catatan manis di dokumen resmi, sementara di lapangan, pembangunan tersendat, proyek menumpuk, dan publik menanggung konsekuensi dari perencanaan yang tak realistis.

Bojonegoro kini dihadapkan pada pertanyaan mendasar, apakah efisiensi ini menjadi awal reformasi, atau justru awal krisis, sebab, jika efisiensi tidak diiringi dengan inovasi fiskal dan keberanian memangkas budaya boros, maka yang terjadi bukan transformasi, melainkan stagnasi.

Kehilangan Rp1,67 triliun bisa menjadi bencana atau titik balik menuju kedewasaan fiskal, tergantung sejauh mana Bojonegoro mampu membaca arah kebijakan nasional bukan sebagai ancaman, tapi sebagai peluang untuk membangun kemandirian yang sejati.

Sebelumnya

item