Gegara Bongkar Dugaan Penyerobotan Sempadan Sungai Ijogading, Jurnalis Malah Dijerat UU ITE, Demokrasi Jembrana dalam Bahaya
Jembrana, Polemikdaerah.online – Ketika seorang jurnalis mengungkap praktik pelanggaran tata ruang dan dugaan penyalahgunaan izin di bantaran Sungai Ijogading, yang terjadi bukanlah apresiasi atau tindak lanjut dari otoritas. Sebaliknya, jurnalis itu kini terjerat pasal pencemaran nama baik dan menghadapi ancaman pidana.
Peristiwa ini bukan sekadar sengketa antara pelaku usaha dan media. Ini adalah cermin buram keberpihakan aparat penegak hukum serta lemahnya komitmen Pemerintah Kabupaten Jembrana dalam menegakkan aturan tata ruang dan melindungi hak publik atas informasi.
Dugaan pelanggaran yang diungkap jurnalis I Putu S bukan tanpa dasar. Sebuah SPBU di kawasan Ijogading dituding berdiri terlalu dekat dengan sempadan sungai. Fakta ini diperkuat oleh hasil verifikasi Balai Wilayah Sungai (BWS) Bali Penida, yang menyatakan bangunan tersebut melanggar garis sempadan.
Tak berhenti di situ, di belakang SPBU juga dibangun penginapan komersial, padahal izin yang dikantongi hanya untuk fasilitas non-Komersil sebagaimana tertera dalam Surat Keterangan Tata Ruang (SKTR).
Namun hingga berita ini diturunkan, tidak ada satu pun langkah korektif dari Dinas PUPR maupun Satpol PP Jembrana. Pelanggaran tata ruang seolah dimaklumi, bahkan dibiarkan.
Yang lebih mengkhawatirkan, jurnalis yang mengungkap pelanggaran justru dilaporkan ke polisi oleh pemilik usaha atas tuduhan pencemaran nama baik. Padahal, dalam artikelnya tidak disebutkan nama asli, hanya nama fiktif.
Namun seorang pengusaha bernama Dewi Supriyani mengklaim dirinyalah yang dimaksud dan langsung mengajukan laporan pidana, bukan menggunakan hak jawab sebagaimana diatur UU Pers No. 40 Tahun 1999. Penyidik dengan cepat menetapkan I Putu S sebagai tersangka melalui Pasal 27A UU ITE, pasal kontroversial yang kerap digunakan untuk membungkam kritik.
Menurut kuasa hukum jurnalis, I Putu Wirata Dwikora, semua prosedur jurnalistik telah dijalankan kliennya. Konfirmasi telah dilakukan ke berbagai pihak, termasuk Dinas PUPR, BWS Bali Penida, hingga manajemen SPBU.
“Kami bahkan membalas somasi dengan surat undangan klarifikasi terbuka. Tapi pihak pelapor tidak hadir. Justru menempuh jalur pidana,” ujarnya.
Lebih lanjut, hasil telusur pewarta, nama Dewi Supriyani ditemukan dalam dokumen kepemilikan SPBU, namun tidak pernah dimuat secara eksplisit dalam berita. Ini menimbulkan dugaan kuat bahwa pelaporan pidana bukan karena pencemaran, tapi sebagai upaya membungkam.
Masih menurut Wirata, Dalam kasus ini, aparat penegak hukum tampak lebih cepat merespons laporan dari pemilik usaha ketimbang menindak pelanggaran tata ruang yang telah dikonfirmasi secara teknis oleh otoritas sungai.
Tidak hanya itu, Pemkab Jembrana, Dewan Pers, dan Komisi Informasi hingga kini memilih diam. Padahal yang dipertaruhkan bukan hanya nasib satu jurnalis, tetapi prinsip dasar demokrasi: kebebasan pers dan kontrol sosial masyarakat terhadap kekuasaan.
Kasus ini bukan insiden tunggal. Ia bagian dari pola besar di mana media lokal yang kritis justru dijerat hukum, sementara pelanggaran nyata terhadap tata ruang, lingkungan, dan kepentingan publik diabaikan.
Pemerintah daerah, aparat hukum, dan lembaga pengawas harus menjawab satu pertanyaan penting: Mengapa lebih mudah memproses jurnalis yang mengungkap pelanggaran, ketimbang menghentikan pelanggaran itu sendiri?
Jika kasus ini dibiarkan, bukan hanya satu jurnalis yang dikorbankan, tapi hak publik atas informasi dan partisipasi dalam pengawasan kekuasaan ikut dilucuti, lanjutnya.
“Jika jurnalis yang bekerja sesuai kode etik dan SOP bisa dipidana, maka kekuasaan akan terus berjalan tanpa pengawasan. Masyarakat akan kehilangan saluran utama untuk mengetahui kebenaran,” Pungkas Wirata.
Red...